SELAMAT datang di kampus
impianmu. Tempat yang akan menemanimu dalam waktu yang tak lama. Jika dulu aku
habiskan kuliah cukup lama, kini waktu kuliah singkat saja. Ada yang
menjalaninya hanya 3 tahun dan ada yang 4 tahun. Malahan ada yang 3 setengah
tahun. Mirip lomba, kuliah membuatmu memandang teman seperti lawan. Mula-mula
pada soal penampilan dan lama kelamaan dalam hal prestasi. Terlebih kampus
sekarang ini suka sekali memamerkan mahasiswa yang jadi juara. Juara apa saja:
menulis, meneliti, pidato, lomba debat hingga stand up comedy. Seakan
kampus serupa dengan medan laga dimana tiap anak muda harus siap bertarung:
kalah atau menang. Tapi apapun yang terjadi percayalah kampus adalah tempatmu
untuk menguji mimpi dan nyali.
Jangan percaya kalau
jadi sarjana itu tujuan utamanya. Tak ada yang istimewa dari acara wisuda.
Berjejer rapi lalu digeser toga kemudian foto bersama keluarga. Sungguh itu
adegan yang menjemukan dan tak layak untuk dirindukan. Terlebih, jangan
meyakini bahwa IP (indeks prestasi) tinggi itu segalanya. Kampus beda dengan SD
dimana yang bernilai tinggi selalu dapat pujian. Sudah banyak kepercayaan kalau
IP tinggi tak menjamin segalanya. Tengok saja banyak tokoh, para penemu hingga
aktor yang kuliahnya pernah gagal tapi karirnya gemilang. IP itu hanya perkakas
kuliah yang diperebutkan dengan tenaga seadanya saja. Jangan terlampau berburu,
sama halnya juga jangan terlalu meremehkan. Ringkasnya, kuliah tak hanya berpusat
pada apa yang ada di bangku dan apa yang dikatakan oleh dosenmu.
Itu sebabnya biarkan
petualangan membawamu ke sana kemari. Kampus memberi kamu pengalaman yang tak
dapat kamu peroleh di mana-mana. Diantaranya adalah organisasi. Sangkar yang
indah dan memikat untuk anak muda yang berani. Dilatih di sana kamu untuk
melawan apa yang memang sepatutnya kita lawan. Memusuhi korupsi, pelanggaran
hak asasi manusia hingga membela mereka yang ditindas. Disanalah kamu dilatih
memimpin, peduli dan melindungi. Tak ada mata kuliah satupun yang bermuatan itu
semua. Di organisasi pintu untuk mendapatkan pengetahuan mengenai itu. Maka
jangan ragu-ragu untuk masuk ke dalamnya. Jangan kuatir karena disanalah kamu
akan tersesat di jalan yang benar. Walau kamu tak dijanjikan IP tinggi atau
menang lomba, tapi kamu memiliki pengalaman yang lebih berharga ketimbang jadi
juara.
Tak sedikit orang yang punya
pengalaman organisasi kini menikmati kenangan manis. Kenangan ketika memprotes
tindakan aparat, menentang keputusan yang tak adil dan membangkang pada
kebijakan yang merugikan. Bukan hanya kenangan tapi mereka menuai hasil yang
sepadan: lebih berani mengambil posisi, tak gampang berkhianat pada pendirian
dan menghargai kebebasan mengemukakan pandangan. Walau tak sedikit pula yang
melacurkan keyakinan. Setidaknya, organisasi membimbing keyakinan untuk percaya
kalau kebenaran itu bukan retorika kosong. Dan kebenaran juga akan memberi kamu
semangat untuk mencurigai semua kepalsuan. Itu sebabnya organisasi adalah
kuliah yang sesungguhnya. Kamu bukan diajarkan untuk meraih prestasi, tapi kamu
dibimbing untuk memahami bahwa dasar hidup itu adalah solidaritas dan
kepedulian. Dasar hidup itu yang akan membawamu pada keyakinan untuk selalu
memihak ketika ada lapisan yang dizalimi dan tak mudah buatmu untuk membenarkan
tiap putusan yang bawa binasa. Hanya organisasi yang meyadarkanmu kalau hidup
itu tak bisa dilalui seperti binatang: kawin, beranak, cari makan, dan mati.
Tapi tak mudah berbagi
kepercayaan ini padamu. Kampus telah membujukmu untuk kuliah dengan sandaran
harapan nilai serta gelar. Dengan bujukan itulah kamu dikejar-kejar untuk lekas
jadi sarjana, ketika kuliah bisa sambil kerja dan saat kuliah dapat raih
prestasi. Keyakinan itu ditanam pula oleh orang tuamu. Sedikit orang tua yang
mengantar anak kuliah agar dirinya bisa hidup dalam perahu gerakan. Lebih-lebih
biaya kuliah yang terus naik membuat kamu berfikir seperti kalkulator:
jumlahkan, kalikan dan hasilnya harus sama. Kalau bisa lebih besar. Itu
sebabnya kamu diajarkan bagaimana ilmu kesuksesan dalam hidup bukan petualangan
dalam melawan badai kehidupan. Training motivasi diulang di mana-mana dengan
kesadaran bahwa optimisme dan percaya diri modal untuk semua. Juga training
wirausaha dilakukan di mana-mana dengan harapan kamu bisa raih uang sejak dini.
Seolah-olah kampus memang maunya menghasilkan jutawan, orang terkenal dan punya
banyak pendapatan. Sejak itulah kampus lalu merias dirinya dengan fasilitas
yang kadang berlebihan. Kamu tak lagi berada di taman pengetahuan tapi taman
hiburan.
Maka lihatlah mereka yang
‘dianggap’ berhasil kuliahnya. Mendapat uang yang besar, jabatan yang menawan
dan bisa kembali ke kampus dengan kisah keberhasilan. Sungguh itukah yang mau
kauraih dalam hidup di masa-masa mudamu? Masa-masa emas dimana banyak orang
‘besar’ dulu lahir pada masa-masa itu. Melihat paras Hatta yang kuno, sederhana
dan rajin baca kita jadi termangu: benarkah bangsa ini dulu diproklamasikan
oleh sosok yang serius semacam ini. Menengok Soekarno yang muda, tampan dan
nekat kita jadi terhenyak: inikah anak muda yang bersama Hatta bacakan
proklamasi? Di samping mereka lebih banyak lagi anak-anak muda yang kala itu
berfikir besar, berbuat nekat dan mencoba untuk mendirikan prinsip yang melawan
zaman. Kala itu kolonialisme seperti keniscayaan dan kedaulatan seolah mimpi.
Tapi mereka adalah anak muda yang melompat dari arus zaman: percaya bahwa
pendidikan tinggi bukan tempat untuk cari gelar dan meyakini kalau kuliah
memang jalan untuk berangkat menuju petualangan.
Tentu kau bisa anggap itu
contoh yang klasik dan kuno. Soekarno kini sudah mangkat, begitu pula
kawan-kawanya. Tapi setidaknya kamu bisa menyaksikan bagaimana ‘efek’ pemikiran
mereka hingga kini. Kedaulatan, kemandirian dan kehormatan sebagai bangsa
ditanam oleh tangan-tangan mereka. Saat itu bangsa ini jadi ‘terdepan’ di
antara bangsa-bangsa Asia: inisiatif untuk membuat blok Asia Afrika, dorongan
untuk menghidupkan solidaritas pada negara yang dijajah dan, yang lebih
penting, kemandirian untuk membangun ekonomi. Ide itu sampai kini hanya jadi
sebuah petuah tiap kali bangsa ini dihadapkan oleh masalah. Tak banyak
keberanian untuk membuat ide itu hidup, tumbuh dan dipraktikkan. Para penguasa
berikutnya sibuk mempertahankan jabatan dan berpikir untuk kepentingan diri
sendiri. Salah satunya yang paling tragis adalah kejadian di tahun 65: jutaan
orang dibunuh, dibuang dan dipenjarakan. Itulah masa terburuk dari bangsa ini
karena akal sehat dan nilai kemanusiaan diremukkan dengan cara brutal. Sejak
saat itu, sesungguhnya, kita memasuki era gelap dimana kebenaran, kepedulian
dan kecintaan pada nilai-nilai kemanusiaan telah rontok.
Kini kamu memasuki massa
seperti yang pernah dialami oleh Soekarno, Hatta atau Tan Malaka. Masa dimana
kedaulatan bangsa dianiaya dan kehidupan rakyat masih banyak yang sengsara. Tak
banyak anak muda yang mampu kuliah sepertimu. Lebih tak banyak lagi anak muda
yang bisa bekerja mapan seperti yang kau inginkan. Tak pernahkah kamu melihat
petani yang sawahnya dilipat untuk jadi pabrik dan perumahan? Tak pernahkah
kamu dengar orang miskin kampungnya digusur untuk pembangunan? Tidakkah kamu
melihat banyak politisi bejat merasa berkuasa dengan buat aturan seenak
perutnya sendiri? Hingga kamu mungkin capek menyaksikan para pejabat hukum
malah jual beli perkara. Kemudian kekayaan pejabat melambung sampai tak
terhingga. Ini masa seperti zaman kolonial dulu: dimana manusia memeras manusia
lain. Saat mana manusia menipu sesama. Ketika manusia berani menganiaya dengan
kejam. Inilah zaman bergerak yang membuka pintu kesempatan kamu untuk membuat
sejarah.
Kini tataplah wajah para
pendiri republik ini. Tak ada kemewahan yang tampak di wajahnya. Air muka
mereka menyiratkan harapan dan kehendak. Harapan bahwa negeri ini bisa dibangun
dengan cara mandiri dan kehendak untuk membuat bangsa ini bisa punya pengaruh.
Keyakinan itu kini rontok karena bangsa ini terlanjur terbelit dalam hutang dan
sulit untuk menampik kehendak bangsa lain. Seperti kita ditampar melihat bangsa
ini bingung untuk membuat rakyatnya sejahtera: diganti menteri, diganti
kebijakan, hingga diganti kurikulum. Kita kehabisan akal karena kita tak punya
gagasan, ide dan keberanian untuk mengambil jalan baru. Saatnya kalian sebagai
mahasiswa memutus rantai kegelapan ini. Tak hanya dengan belajar tapi bergaul
serta berpetualang melihat kehidupan rakyat miskin yang sebenarnya. Biarkan
amarah kalian berkobar melihat ketidak-adilan dan jangan takut jika kalian
memang punya keinginan untuk membela mereka. Mungkin tak ada dukungan atau
mungkin kalian dijatuhi hukuman. Tapi sejarah mencatat bahwa itu adalah ongkos
terindah dari sebuah posisi perjuangan.
Kini langit kampus itu akan
jadi saksi pertumbuhan keyakinanmu. Jejak jejak muda seperti apa yang hendak
kamu toreh. Tiap jejak itu akan jadi butiran keyakinan yang kelak akan
diam-diam membentukmu. Jika sikap berani yang kamu tanam niscaya kamu akan
berkembang tanpa rasa takut. Kalau sikap empati yang kamu semai kelak kamu akan
jadi manusia yang peka dan mudah tersentuh. Oleh penderitaan, terhadap
ketidak-adilan dan atas semua bentuk kebohongan. Maka jadilah mahasiswa yang
tak hanya berharap meraih gelar sarjana. Juga jadilah mahasiswa yang tak
berambisi menggapai nilai tinggi saja. Ingat-ingatlah bahwa tiap anak muda bisa
menoreh sejarah berharga untuk diwariskan pada generasi berikutnya: Tan Malaka
memberi ilham tentang Kemerdekaan 100% tanpa kompromi, Soekarno meneguhkan
hutang budi bangsa pada kaum marhaen serta Semaoen meneguhkan hikayat kaum
terpelajar yang menolak berhamba pada kaum feodal. Mereka diilhami bukan oleh buku
kuliah, tapi petualangan dan perjumpaan dengan masalah. Maka tak heran mereka
dengan akrab ide-ide progresif yang dimuat dalam karya-karya kiri.
Sekali lagi jangan mau ditipu
oleh propaganda. Yang bilang kiri itu atheis. Yang mengatakan kiri itu bahaya.
Jika jadi mahasiswa selalu harus waspada, maka apa bedanya kamu dengan para
serdadu? Dimana sloganya selalu pakai istilah harga mati dan ucapanya dibumbui
oleh bahaya. Maka sejak jadi mahasiswa buanglah kebiasaan tak terdidik itu.
Yang selalu mudah percaya oleh ancaman dan gampang meyakini sesuatu yang tanpa
bukti. Tantanglah semua yang kamu anggap tidak ada dasar sejarah dan akal.
Beranikan dirimu untuk menerobos tabir-tabir ketakutan yang diwariskan oleh
penguasa masa lampau. Meski waktumu tak panjang berusahalah untuk mendobrak
tatanan buntu ini. Sebab jika kamu mampu meruntuhkan tembok itu, sedikit saja,
maka sesungguhnya kamu sudah memberi jalan bagi petualang berikutnya. Mahasiswa
baru yang terus terlibat menyudahi tatanan yang usang.
Selamat datang para petualang
yang hidup tidak untuk ‘gelar’ tapi ‘petualangan dan perlawanan’. Selamat telah
menjadi MAHASISWA.
oleh : Eko P.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar