Menurut sejarahnya, ketupat dikenalkan pertama
kali oleh Sunan Kalijaga pada abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Sunan Kalijaga
adalah teolog dan satu dari sembilan Walisongo yang yang berperan penting dalam
penyebaran Islam di pulau Jawa. Selama berdakwah Sunan Kalijaga mengembangkan
dua tradisi sesudah Ramadhan (lebaran) yaitu Ba’da Lebaran dan Ba’da Cilik atau
Ba’da Kupat. Ba’da Lebaran dirayakan pada hari pertama bulan Syawal atau hari
pertama Idul Fitri dengan bersilaturrahim dan berdoa bersama, sedangkan Ba’da
Kupat adalah tradisi yang sebenarnya sudah ada sejak dulu, tetapi diadaptasi
oleh Sunan Kalijaga menjadi tradisi Islam di pulau Jawa.
Dalam perayaan tradisi Ba’da Kupat, hampir
semua orang memasak makanan olahan beras yang kemudian diberi nama kupat atau
ketupat. Mereka membuat anyaman segiempat wajik (belah ketupat) dari janur muda
dan kemudian mengisinya dengan beras, lalu mengukusnya dan kemudian dibagikan
pada kerabat dekat sebagai simbol kebersamaan dan saling berbagi.
Seiring berjalannya waktu, ketupat tidak hanya
menjadi tradisi masyarakat di pulau Jawa akan tetapi menyebar ke negeri tetangga
seperti Singapura, Malaysia, Brunei dan negara-negara di Asia Tenggara. Hal ini
beriringan dengan penyebaran agama islam yang makin luas sehingga membawa salah
satu tradisi khas Indonesia, yaitu tradisi menyajikan ketupat di hari raya Idul
Fitri.
Filosofi Ketupat
Kupat atau yang lebih sering disebut ketupat adalah
hidangan khas Indonesia ketika lebaran atau Idul Fitri. Berbahan dasar beras
yang dibungkus dengan pembungkus terbuat dari anyaman janur muda. Dalam filosofi
Jawa, ketupat bukanlah sekedar hidangan khas lebaran. Ketupat memiliki makna
khusus.
Banyak filosofi yang terkandung dalam ketpat
ini. Bungkus yang dibuat dari janur muda melambangkan penolak bala bagi
masyarakat Jawa. Janur merupakan kepanjangan dari “sejatine nur” (cahaya) yang
melambangkan kondisi manusia dalam keadaan suci setelah mendapatkan pencerehan
(cahaya) selama pada bulan Ramadhan. Sehingga makna dari lebaran ketupat adalah
kesusian batin yang dimanifestasikan dalam tujuan hidup esensial.
Bentuk segi empat dalam ketupat mencerminkan
prinsip “kiblat papat lima pancer” yang berarti bahwa kemanapun manusia pergi
pasti akan selalu kembali pada Allah swt. kiblat lima pancer ini bisa juga
diartikan sebagai empat macam nafsu manusia yaitu nafsu amarah untuk memuaskan
nafsu marah, nafsu mutmainnah untuk manusia hidup, nafsu sufiah untuk
memiliki sesuatu yang indah dan nafsu alumuah atau nafsu untuk memuaskan rasa
lapar. Keempat nafsu tersebut ditaklukkan saat berpuasa pada bulan Ramadhan
sehingga dengan memakan ketupat orang disimbolkan sudah mampu menaklukkan
keempat nafsu tersebut.
Sebagian masayarakat juga memaknai rumitnya
anyaman ketupat mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia sedangkan warna
putih melambangkan kebersihan dan kesucian setelah memohon ampunan. Beras sebagai
isi ketupat diharapkan menjadi lambang kemakmuran setelah Idul Fitri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar