Malaikat
Dulu saat aku masih duduk di bangku
sekolah dasar aku adalah anak yang pemurung di rumah dan pendiam di sekolah.
Masa kecilku aku habiskan untuk selalu menuruti apa yang ayahku mau dan apa
yang ayahku suruh, untuk bermainpun aku takut, takut dimarahi saat pulang ke
rumah.
Ayahku orang yang sangat taat agama,
sampai-sampai untuk untuk keluar rumahpun aku tak boleh dengan alasan takut
anaknya zina mata, sholat tak boleh telat barang sedikitpun, dan banyak lagi
peraturan lainnya yang sangat ketat menurutku. Aku benci Ayahku saat itu, itu
karena aku tidak pernah punya rasa nyaman di dekatnya, hanya ada ketakutan demi
ketakutan. Aku juga kesal dengan ibuku, dia selalu diam saat Ayah memarahiku.
Karena semua itu aku pikir mereka tidak menyayangiku dan aku membenci mereka.
Di Sekolah aku bukan anak yang
aktif karena aku adalah anak yang
pendiam, aku pikir mungkin karena aku sering dibully saat itu, teman-temanku di
sekolah adalah anak orang kaya, punya barang-barang mahal dan selalu melunasi
spp saat tahun ajaran baru dimulai.
Sedangkan aku anak orang biasa tak punya harta berlebih dan orangtuaku hanya
seorang petani, saat ingin membeli sepatu pun aku harus menunggu tunggakan spp
lunas. Aku tidak pernah iri dengan mereka, tapi mereka selalu menertawakanku
hanya karena baju yang aku pakai sudah kekecilan dan kumal, sepatuku yang sudah
kehausan dan abu.
Aku tidak pernah merasakan perlindungan
di rumah dan sekolahku, karena yang aku
lihat tidak ada satupun yang baik di situ. Hal ini berbanding terbalik dengan
posisiku di tempat mengaji, aku adalah anak yang disegani di sini, tidak ada
siapapun yang segan mengusikku, mungkin karena aku adalah anak emas disini dan
selalu dibanggakan oleh guruku. Sehingga aku merasa nyaman dan menjadikanku
sebagai pribadi yang percaya diri dan sangat bisa diandalkan.
Haahhh, itu cerita yang sangat lama,
mungkin sudah hampir 10 tahun berlalu tapi aku masih sangat mengingatnya dan
takkan pernah aku lupakan. Peristiwa demi peristiwa telah membentuk karakter
dalam diriku, seperti apa aku sat ini adalah baru sebagian hasil dari apa yang
telah terjadi selama ini. Persepsiku tentang ayah, ibu dan teman-temanku pun
berubah seiring bertambahnya pengalamanku dan apa yang lihat dan aku rasakan
selama ini.
“ Nina! ” tiba-tiba suara Rasti membuyarkan lamunanku.
“ iya Ras, apaan? ” Rasti adalah teman baikku.
“ hayu makan, btw aku tahu kok kalau kamu pasti belum makan
deh ”
“ iya Ras laper nih, mau makan ke mana? ”
“ terserah kamu aja deh, aku sih ikut aja “
“ okedeh..kita ke kantin aja lah yukk “
Sambil tersenyum meng iya kan keinginanku, Rasti mulai
bersiap mengambil sandal untuk turun. Dan akupun mengikutinya.
Rasti adalah teman
baikku, dia hampir tidak pernah menolak perkataanku meski terkadang aku yakin
dia sedang kecapekan atau dia sedang tidak memiliki mood apapun, dia juga
selalu menghiburku dengan caranya sendiri saat aku sedang sedih. Dan aku yakin
dia adalah teman yang baik dan dapat diandalkan.
Setelah selesai ke
kantin aku dan Rasti pun kembali ke kamar, seperti biasa aku sering melamun dan
terkadang menuliskan apa yang menjadi lamunanku. Aku sadar saat ini aku sedang
sangat rindu dengan keluargaku, aku sangat merindukan mereka aku ingat masa
kecilku yang saat itu sangat membenci mereka, dan semakin aku tumbuh dewasa
semakin aku sadar bahwa apa yang menjadi penilaianku tehadap mereka adalah
salah besar. Ayahku seperti itu karena dia menyayangiku, dia tidak ingin aku
tumbuh menjadi seorang anak yang lalai. Meskipun Ayahku sangat keras mendidik
anaknya, ternyata Ayahku juga sangat menyayangiku, itu terbukti saat aku
melihatnya selalu bekerja keras setiap hari tanpa pernah mengeluh capek
sedikitpun. Aku juga ingat betapa jahatnya aku terhadap orang tuaku saat aku
duduk di bangku SMP, yang justru melalaikan sekolahku dan sering membohongi
mereka tentang banyak hal, tapi yang aku lihat justru mereka tetap mengurusku
dan tidak pernah sekalipun membuangku karena hal itu. Hal ini sudah cukup
menjadi bukti bahwa mereka memang menyayangiku dan tidak membenciku seperti apa
yang ada dalam pikiranku.
Ini hari jumat,
berarti besok adalah hari libur. Aku bisa pulang esok hari untuk sekedar
melepas rindu ke rumah dan bertemu dengan keluargaku. Rasanya aku tak sabar
untuk bertemu dengan mereka, sengaja hari ini aku tidak akan menelepon ayah dan
ibu karena aku berniat memberikan kejutan.
“ Rasti, besok aku mau pulang, kamu ga
pengen pulang juga? “ aku bertanya ke Rasti mungkin saja dia juga mau pulang
bersama, karena rumah kita searah.
“ kamu mau pulang nin? Aku juga pengen
pulang sih, kangen gitu sama adekku”
“ yaudah, kita bareng aja gimana? “
“ yaudah deh, kita pulang bareng aja,
kamu pasti takut sendirian yaa “ Rasti menggodaku karena dia tahu kalau aku
memang penakut.
“ yaelah, ngga lah Ras, kan aku kasihan
sama kamu, kamu pasti lagi kangen sama adekmu yang lucu banget itu kann? “ aku
pun mencoba menggodanya.
“ tahu aja kamu Nin “ sambil tertawa dia
mencoba meledekku.
“ udahlah, pokoknya besok kita pulang
bareng yaa “
“ okedeh, siap Nina “
Tak
terasa hari jum’at akan segera berakhir, dan tiba waktunya besok adalah hari
libur yang sangat sempit, yah walaupun begitu cukuplah untuk sekedar pulang dan
melepas kerinduan barang sebentar juga. Aku juga yakin Rasti akan senang juga
saat pulang nanti, kan dia juga sedang sangat merindukan adik kecilnya yang
sangat lucu itu. Ibu dan Ayahku juga pasti akan sangat kaget saat aku pulang
besok karena aku jarang sekali punya kesempatan untuk pulang karena jadwalku
sendiri sangat sibuk untuk kuliah dan menyelesaikan tugas-tugas kuliahku.
Tiba
hari sabtu yang cerah ini aku dan Rasti mulai bersiap untuk pulang dan menemui
keluarga tercinta masing-masing. Sebelum jam tujuh pagi aku dan Rasti sudah
siap untuk berangkat, saat sudah berada dalam bus, kami pun ketiduran karena
memang perjalanan ke rumah membutuhkan waktu yang sangat lama.
Di
tengah perjalan, aku terbangun dan mendapati Rasti sedang tertidur pulas. Aku
lihat jam menunjukkan pukul sembilan, yang berarti terminal pemberhentian
pertama sudah dekat. Akupun membangunkan Rasti yang sedang tertidur pulas.
“ Ras, bangun Ras, sudah hampir sampai
terminal “ aku goyang-goyang tangannya sampai ia terbangun.
“ kok cepet Nin? “ sambil mengucek
matanya ia bertanya.
“ lah iya ini udah jam sembilan Ras,
bentar lagi sampe kan “
“ eh iya Nin, bentar lagi sampai. Kamu
abis ini lanjut sendiri nih, beneran? “
“ iya Ras, masa aku minta anterin kamu
sampai rumah, kan ngga mungkin Ras. “
“ iya deh Nin, kamu harus hati-hati loh,
jangan mainan Hp di jalan biar ga mancing kejahatan, terus tuh masker jangan
sampai di lepas juga. “
“ iya iya Ras, aku ngerti kok tenang
aja.” sambil meyakinkan Rasti aku mulai mengecek barang-barangku agar tidak ada
yang tertinggal.
Rasti
adalah teman yang sangat perhatian dan orang yang sangat detail mengenai segala
hal, wejengan dari dia sudah seperti wejengan dari orang tuaku sendiri.
Tibalah
di pemberhentian pertama, aku dan Rasti pun turun dan kali ini kami harus pisah
bus. Rasti mulai naik ke dalam bus yang menjadi tujuannya, dan dia melambai
sambil berteriak hati-hati kepadaku, akupun melambai kepadanya dan mengangguk.
Ah Rasti baik sekali menurutku, aku selalu merasa aman berada di dekatnya.
Aku
masih menunggu bus yang menjadi tujuanku datang selama beberapa menit, dan
akhirnya bus yang menjadi tujuanku pun datang, aku pun masuk kedalam bus
bersama orang-orang yang ikut menunggu bus yang sama denganku. Aku pun duduk
sambil mencari angel yang tepat agar bisa melihat jalanan dengan leluasa.
Perjalanan
masih lama tapi aku sudah mulai merasakan kantuk lagi, akhirnya aku mengecek Hp
siapa tau Rasti atau ibuku mengirimkan pesan singkat untukku. Aih ternyata ibu
sempat menelponku beberapa kali dan aku lupa mengaktifkan mode suaranya. Akupun
menelpon balik ibuku dan dia bertanya mengenai kabarku, akupun mengatakan hal
yang sejujurnya kalau aku sedang baik-baik saja. Aku dengar suara ibuku di
sebrang sana seperti sangat lega mengetahui kabarku yang sedang baik-baik saja,
akupun demikian sangat senang mendengar ibuku mengucap hamdalah dengan lega.
Setelah
telpon ditutup aku sudah tidak merasa mengantuk sama sekali. Ah aku ingat kalau
aku membawa buku berjudul Edensor karya Andrea Hirata yang aku beli seminggu
lalu dan belum sempat aku baca. Dalam hatiku aku selalu senang saat membaca
buku karya-karya dari idolaku ini, karena semua karyanya dapat dengan mudah
ditangkap oleh otak dan otak pun dapat dengan mudah memvisualisasikan apa yang
ada di dalamnya. Cerita dalam buku ini mengingatkanku akan apa yang sedang aku
jalani sekarang, andrea yang sedang merantau sama denganku, meskipun kota
perantauanku tak sejauh negara perantauannya Andrea Hirata.
Jam
telah menunjukkan pukul sepuluh lebih, ini berarti sebentar lagi aku akan
segera sampai di terminal pemberhentian terakhirku. Aku pun memasukkan buku
Edensor ke dalam tas. Aku lihat jalanan yang semakin panas menandakan hari sudah
semakin siang dan terminal semakin dekat, aku mulai mengecek barangku agar
tidak ada yang tertinggal di dalam bus.
Akhirnya
aku turun dari dalam bus dan mulai naik ojek agar cepat sampai ke rumah,
maklumlah rumahku ada di pelosok desa da harus menempuh perjalanan agak jauh
untuk sampai.
Lamat-lamat aku
melihat seorang perempuan paruh baya dari kejauhan yang sedang duduk di teras
rumahnya yang bercat hijau, akupun turun dari motor dan membayar uang kepada
tukang ojeknya. Di depan rumah tersebut aku tersenyum melihat ke perempuan
paruh baya tersebut, dan dia mulai berdiri tersenyum kembali kearahku lalu aku
berlari dan segera memeluknya.
Ibuku terlihat sangat senang saat aku pulang
lalu ibu pun mengajakku masuk kedalam rumah, aku lihat ayahku sedang duduk di
depan televisi sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok dengan masih memakai
pakaian lengkap ala petani. Ayahku terlihat kaget saat aku pulang lalu aku
mencium tangannya. Ayah terlihat sedang sangat kecapekan dan berkeringat,
sepertinya ayah baru saja pulang dari sawah. Ayah bertanya kenapa aku pulang
lalu aku menjawab kalau ada libur tiga hari dan aku sedang sangat ingin pulang.
Ibu menyuruhku
makan terlebih dahulu lalu beristirahat, aku pun mengambil makan lalu duduk
bersama ayah dan ibuku di depan televisi. Ibu dan Ayah bertanya kenapa aku
tidak memberitahu terlebih dulu kalau akan pulang dan aku pun mengatakan kalau
aku ingin memberikan kejutan kepada mereka. Entah kenapa hanya dengan
percakapan sederhana seperti ini aku merasa sangat bahagia dan merasa sangat
nyaman.
Ibu dan Ayah
bertanya banyak hal kepadaku tentang kegiatan dan tentang kabar atau hanya
sekedar bercerita apa yang terjadi saat aku sedang di kota perantuan.
Percakapan-percakapan kecil dan ringan seperti ini lah yang aku rindukan meskipun
aku tetap tidak bisa mengobati rinduku kepada adik-adikku yang semua sedang ada
di pesantren. Ini sudah cukup menenangkan bagiku.
Setelah aku
selesai makan aku pun mencuci tangan dan kaki lalu beristirahat. Badanku pegal
sekali karena selesai menempuh perjalanan yang jauh. Aku tidak bisa
membayangkan betapa pegal dan beratnya Ayah dan Ibuku selama ini dalam
mengurusku dan adik-adikku.
---Selesai---