INDONESIA DAN KAMBING HITAM
Saya
hanya tersenyum melihat kejadian itu sambil mengeleng-gelengkan kepala.
Di benak saya timbul beberapa pertanyaan, tetapi tidak satupun dari
pertanyaan itu ingin mengetahui siapa kedua orang itu.
Pertanyaan pertama, Apa yang mereka lakukan?
Secara, waktu itu arloji yang saya pakai masih menunjukkan pukul 06.00
WIB. Mereka mencuri atau melanggar peraturankah? Tidak kedua-duanya.
Mereka hanya muda-mudi yang sedang jatuh cinta dan tidak bisa menahan
nafsunya. Ya……. Pak satpam menemukan mereka di kamar mandi. Tentu saja
saya tidak tahu apa yang mereka lakukan, dan mungkin pak satpam yang
kebetulan kebelet pipis itu saja yang tahu apa yang mereka lakukan. Opsi
beberapa hari kemudian, dari beberapa sumber mengatakan bahwa mereka
sedang memegang-megang satu sama lain, ada juga yang mengatakan mereka
sedang berciuman dan melepas pakaian, dll. (Tapi bahasan ini tidak
bermaksud untuk mengeksplor kedua orang itu).
Sebegitu bobroknya kah moral bangsa ini.... Oh Tuhan!
Dari sini timbul pertanyaan kedua, Semua ini salah siapa?
Berbeda dengan pertanyaan pertama, pertanyaan kedua ini akan lebih
melibatkan banyak pihak. Mungkin juga akan terjadi proses saling
melemparkan kesalahan. Apakah ini salah anu (alat reproduksi)nya,
akalnya, orangtuanya, gurunya, atau lingkungannya?
Tidak satupun dari mereka luput dari kesalahan, mungkin itu hipotesis saya. Tapi coba dengar, si Anu mulai angkat bicara:
“Bukan salahku la…h, aku kan cuma alat saja, salahkan si Akal tuh… kenapa juga dia mikir kesana-sana!! Dia juga tuh pasti yang nyuruh otak buat nggerakin aku”.
“Enak aja!!”, jawab si Akal,
“Kenapa gue yang disalahin? Kalau gue kagak mikir begitu, manusia kagak
bakal berkembang biak. Habis isi dunia ini. Salahin yang punya anak
tuh! Dikasih apa anaknya kok bisa kayak begitu”.
Orangtua
menjawab, “Lho… kok kami yang disalahkan, padahal kami sudah
mengeluarkan banyak uang untuk menyekolahkan dia. Untuk apa pelajaran
moral itu diajarkan kalau ternyata tidak ada efeknya. Seharusnya Guru yang disalahkan!! Kalau tidak bisa mendidik, kenapa jadi guru?”.
Guru
protes, “Kenapa guru yang disalahkan? Guru sudah bekerja sekuat tenaga
untuk mendidik, menggantikan peran orangtua. Tapi kan anak belajar di
sekolah hanya 6 jam sehari, selebihnya mereka dimana? Lingkunganlah yang lebih berperan membentuk mereka”.
“Oh, jadi nyalahin aku?!”, Lingkungan
berang. “Memangnya apa yang telah kulakukan? Aku itu hanya
memfasilitasi, aku diam, aku tidak pernah melakukan apa-apa pada
siapa-siapa. Kalau mau menyalahkan, salahkan saja si anak itu sendiri.
Jangan bawa-bawa aku segala dunk………………..!!!”.
Lha terus, apa pak satpam yang harus disalahkan karena kebelet pipis?
Proses
pengkambing hitaman ini sepertinya sudah mendarah daging dalam
kehidupan bangsa Indonesia. Saya sering mendengar ibu-ibu yang ketika
anaknya yang baru belajar berjalan jatuh, berkata: “Aduh sayang,
kodoknya nakal ya!! (sambil menginjak-injak tempat bekas anak itu
jatuh). Diinjak ya!! Sudah… sudah pergi kodoknya”. Loh bu…. Emangnya
kodok salah apa? Kok tega-teganya nyalahin kodok yang secara... kagak
salah apa-apa. Untung kodok-kodok itu gak bisa ngomong bahasa manusia,
kalau mereka marah trus demo, kan gawat!!?
Dari
sini terlihat jelas bahwasanya mengkambinghitamkan orang lain sudah
tertanam sangat dalam di jiwa anak-anak, bahkan sejak mereka belum paham
apa itu kodok, kambing, dan apa itu hitam. Mereka mendapatkan pelajaran
kepribadian itu dari orang-orang yang menyayangi mereka. Kalau
orangtuanya saja mendidik seperti itu, bagaimana dengan anak-anak yang
dididik orang lain?
Kembali
ke pokok masalah, problem moral terus bertambah setiap hari, bahkan
setiap detiknya. Korupsi masih marak, pornografi merajalela, kriminal
bertebaran dimana-mana. Sebenarnya orang-orang itu orang mana sich?
Orang Indonesia bukan? Kalo iya, kenapa kok mau ngrusak bangsa sendiri?
Lagi pula, memangnya sekarang Indonesia mana lagi yang masih bisa
dirusak? Miris bukan mendengarnya…. Saking sudah rusak semua
sampai-sampai ada yang bertanya Indonesia mana lagi yang masih bisa
dirusak?.
Untuk
memperbaiki semua itu, yang terpenting adalah kesadaran diri sendiri
lebih dulu. Jika semua orang sadar, seluruh komponen dalam masyarakat
bergerak dalam tugasnya, Indonesia ini pasti bisa dibenahi. Dimulai dari
diri kita masing-masing, demi Indonesia tercinta. Lebih baik Indonesia
hancur di bom oleh musuh, lebih terhormat daripada hancur karena
tangan-tangan anak bangsa yang tak bertanggungjawab. Memalukan.
Posted 13th September 2011 by KSR-PMI Unit UIN Maliki Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar