Deraian hujan
gerimis dan angin semilir menusuk tubuhku, membekukan rusukku yang bersandar di
bawah pohon weni. Anak-anak berlarian menuju tenda-tenda pengungsian kembali ke
pelukan ibu mereka. Hujan mulai agak deras, aku pun masuk ke tenda dapur umum.
Ku lihat kawan-kawanku tidur terlelap kecapaian setelah menyiapkan kebutuhan logistik
korban. Hanya beberapa yang masih terlihat membereskan barang-barang berserakan
di tenda. Aku tak tergerak untuk membantu mereka. Tapi mataku terpana pada
gadis kecil berkuncir. Sepertinya anak itu masih sekitar 5 tahun. Ku dekati dia
yang jongkok di pintu tenda sambil sesekali tangannya bermain air hujan.
Anak-anak di desa ini sangat kuat, keceriaan di wajahnya sama sekali tak
menggambarkan mereka telah mengalami bencana.
“Dik, sedang
apa di sini?” Dia hanya menatapku, sepertinya takut karena kedatanganku.
“Eh, jangan
takut. Nama kamu siapa?” ku rentangkan tanganku padanya. Tapi dia tak berani
membalas rentangan tanganku.
“Eeem, kalau
begitu kakak dulu deh yang sebutin nama. Kenalin nama kakak Najwa.”
“Ila.” Dia
meraih tanganku dan menyebutkan namanya.
Tuhan, ku
lihat matanya. Seperti tak asing lagi dengan mata itu. Entahlah aku tidak tahu
mengapa aku langsung memeluk tubuh mungilnya. Kunciran rambutnya, seperti aku
telah terbiasa dengan anak ini. Terasa seperti masuk ke ruang masa lalu ketika
aku seumuran Ila.
Kemudian
datang wanita berjilbab yang nampaknya sebaya dengan usiaku. Ila melepaskan
pelukanku dan berlari ke wanita itu.
“Ila, adikmu sudah tidur.
Ila jaga adik ya. Jangan sampai
ketindihan baju-bajunya orang-orang.” Wanita itu berkata dengan lemah lembut
pada Ila, kemudian menatapku. Sepertinya aku pernah bertemu dengan mata itu.
“Eggeh buk,” Ila pergi meninggalkan kami tapi aku tak menolehnya. Aku tetap
menatap mata wanita yang ternyata adalah ibu Ila.
“Najwa, kamu
Najwa kan?” Dia mengenalku, tapi dia siapa? Aku tidak pernah ke tempat ini.
Bagaimana dia tahu namaku? “Ha ha ha, kamu pasti sudah lupa denganku kan.
Semakin cantik kamu jadi orang kota.” Ku lihat senyumannya. Memang serasa aku
pernah melihat senyuman itu, tapi taka da bayangan apapun yang terlintas di
kepalaku. “Ee, maaf. Saya tidak pernah tinggal disini. Bagaimana mbak tahu nama
saya?”
“Aku sahabat
kecilmu waktu di Ketapang Kuning.”
“Dewi? Benar
kamu Dewi?” Kemudian dia memelukku, tak tahu apakah rambutnya masih suka
dikuncir seperti dulu.
“Kamu ko bisa
di Sleman Wi?”
“Ceritanya
panjang Wa, Kamu kan pindah setelah lulus SD. Kamu tidak tahu ceritaku
selanjutnya.” Aku tak memaksakannya bercerita, aku paham betul sifatnya yang
tertutup. Tapi dia memulai berbicara lagi. “Bapakku meninggal ketika SMP kelas
dua, ibuku bekerja keras untuk membiayai sekolahku dan adik-adikku. Setalah
lulus aku memutuskan untuk berhenti sekolah. kemudian kakekku menjodohkanku.”
“Jadi ini desa
suamimu?”
“Iya, dan
anakku sudah dua.” Dia masih sama seperti yang dulu, semuanya dia ceritakan
dengan senyuman. “Wa, aku mau mengambil makanan untuk anak-anakku.” Aku hanya
membalasnya dengan anggukan, kemudian dia meninggalkanku bersama angin dingin
yang kembali menusuk tulangku. Aku tak menyangka akan bertemu dengannya di
sini. Ku kira dia sudah menjadi dokter
seperti cita-cita yang diimpikannya. (Kanisar)
Kanisar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar