Rifka,
panggilan akra yang biasanya dilontarkan teman-temanku untuk memanggilku,
seorang santri di sebuah pondok pesantren kecil yang terletak di sudut Kota
Paciran, Lamongan. Ibuku adalah seorang penjual gorengan di kampungku yang
penghasilannya bisa dikatakan di bawah rata-rata jika dibandingkan dengan
penghasilan orang tua teman-temanku di pondok. Namun, bagiku ibuku adalah
pahlawan yang jasanya tak pernah bisa dibalas dengan apapun. Beliau adalah
segala-galanya bagiku. Beliau tidak hanya menjadi pendidik dan pembimbingku,
namun juga menjadi tulang punggung keluarga. Karena ayah telah meninggalkan
kami tanpa sebab saat aku masih berumur 1 tahun.
Kebanyakan
teman-temanku adalah tergolong masyarakat dengan perekonomian kelas atas.
Kehidupan mereka mewah dan kebutuhan mereka tercukupi. Namun hidupku, layaknya
sudut 1800, kehidupanku berbanding terbalik dengan kehidupan mereka.
Untuk membeli kebutuhan hidup saja aku harus menunda, menunda, dan terus
menunda sampai ibuku mampu membelikannya.
Setiap hari,
ibu tak lupa menjengukku meski hanya dengan membawakanku beberapa buah gorengan
saja. Jika beliau membawakanku nasi, lauk yang kudapati tak pernah berbeda
dengan lauk-lauk yng biasanya dibawakan untukku; tahu, tempe, dan sambal
goreng. Sedangkan teman-temanku, meraka tak
mau makan jika tidak berlaukkan daging dan makanan-makanan yang enak.
Pada awalnya, aku tak peduli dengan keaadaan yang seperti ini. Namun seiring
berjalannya waktu, apalagi saat itu aku masih duduk di bangku SMP yang mana
emosiku masih labil, rasa percaya diri itu mulai memudar beriringan dengan
nasibku yang tak kunjung berubah. Tak mampu lagi aku menerima takdir yang
terlalu kejam padaku. Akhirnya sedikit demi sedikit aku mulai menuntut ibuku
dengan meminta ini dan itu.
Suatu hari,
aku meminta ibuku untuk membeliaknku daging ayam. Namun ibuku tak mampu mewujudkan
keinginanku tersebut. Beliau mengatakan bahwa saat itu beliau tak punya uang
sama sekali. Beliau harus membayar hutang-hutnagnya kepada tetanggaku yang
sudah lama ditangunggnya. Namun ego yang telah menguasi pikiranku membuatku
menuntutnya. Bahkan setiap kali aku dikunjunginya, aku terus menuntutnya.
Bagaimanapun
kondisinya, seorang ibu tak pernah memikirkan dirinya sendiri demi
membahagiakan buah hatinya. Ia selalu mendahulukan kepentingan dan keinginan
anaknya. Hingga terjadilah kejadian yang tak akan pernah kulupakan dalam
sejarah hidupku itu.
Suatu hari ibu
berjalan terseok-seok saat mengunjungiku. Seperti biasanya, ibu membawakanku
nasi. Namun hari ini ada yang berbeda dengan hari-hari biasanya. Saat rantang
nasi dibuka, aku melihat sepotong daging di atas nasi yang dibawakan ibu. “Akhirnya
aku makan daging”, batinku berkata dengan senyuman terpancar di wajahku.
Aku tak
langsung memakan nasi itu. Aku bertanya kepada ibu dari mana ibu mendpatkan
uang untuk membeli daging ini. Aku juga bertanya mengapa ibu berjalan
terseok-seok. Ibu tak mau menjawab pertanyaanku dan langsung mengalihkan
pembicaraan. Beberapa saat kemudian setelah aku menanyakannya berulang-ulang sembari
memaksanya untuk menjawab pertanyaanku, akhirnya angkat bicara. “Nak,
sebenarnya daging itu adalah….. adalah…..” “Adalah apa bu?” tanyaku menyela
perkataannya karena tak sabar lagi menunggu jawaban yang sesungguhnya. “Daging
itu adalah….. adalah….. potongan…potongan daging di paha ibu sendiri. Maaf nak,
ibu tak bisa mewujudkan keinginanmu. Akhirnya ibu lakukan ini. Ibu tak punya
jalan keluar lagi,” jawabanya dengan punuh ketulusan di wajahnya.
Tak terasa air
mata mengucur deras membasahi wajahku. Tak tahan lagi aku menahannya mendengar
jawabna yang dilontarkan ibuku. Aku menangis tersedu-sedu di pelukannya. Tak
pernah sedikitpun terlintas di benakku ibu akan melakukan hal senekat ini.
Itulah seorang
ibu, tak pernah memikirkan diri sendiri demi kebahagiaan sang buah hati. Nyawa bukanlah
segala-galanya baginya demi keselamatan sang buah hati. Apapun ia korbankan
asalkan sang buah hati bahagia. Oleh karena itu, jangan pernah menuntutnya
melakukan sesuatu di luar batas kemampuannya. En ibu adalah orang yang tega,
tega menyakiti dirinya sendiri demi kebahagiaan sang buah hati.
Created
by:
Fachriza
Mahdiyatul Husna
(Lempung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar