Cuaca siang itu terasa
sangat panas. Terik matahari terasa begitu sangat menyengat seakan-akan jarak
matahari hanya sejenggal tangan diatas tangan. Udara yang panas sejalan dengan
hati Jingga yang lagi-lagi mendadak terasa panas karena berbagai celaan yang
diterimanya.
Namanya Jingga Pelangi.
Menurut cerita ibunya, ia diberi nama itu karena ia dilahirkan pada saat
pelangi muncul di langit sore yang berwarna jingga -yang menurut ibunya sangat
indah. Dalam nama tersebut pula, orang tua Jingga menyelipkan harapan dan do’a
yang terbaik untuk kehidupan Jingga kelak. Pada kata Jingga, orang tuanya
berharap jika suatu saat nanti Jingga akan tumbuh menjadi seorang gadis yang
seindah langit yang berwarna jingga di sore hari. Sedangkan pada Pelangi, orang
tuanya menyelipkan harapan Jingga akan mendapatkan kehidupan yang
berwarna-warni seindah warna pelangi.
Harapan-harapan
tersebut nyaris semuanya terkabul. Jingga tumbuh menjadi gadis yang cantik.
Menurut ibunya, kecantikan yang dimiliki oleh Jingga sudah seperti keindahan
langit jingga di sore hari. Ia memiliki tubuh tinggi semampai dan kulit yang
putih bersih dan halus seperti awan di langit. Wajahnya berbentuk oval dengan
mata yang tidak terlalu sipit, tetapi juga tidak terlalu lebar. Bola matanya
berwarna cokelat muda yang sekilas tampak mirip dengan lensa kontak. Hidungnya
mancung seperti milik orang-orang luar negeri. Bibirnya tipis dan mungil
berwarna pink. Maka sempurnalah fisik Jingga.
Kehidupan sehari-hari
Jingga sudah seperti pantulan warna-warni pelangi yang indah. Hidup Jingga
selalu menyenangkan dan hampir tidak pernah berakhir mengecewakan. Apapun yang
diinginkannya pasti akan dituruti oleh orang tuanya. Sejak kecil Jingga juga
selalu mendapat pendidikan yang terbaik dari sekolah-sekolah yang terkenal elite
dan terbaik kualitasnya. Tidak heran jika kini Jingga tumbuh menjadi gadis yang
cerdas dan pintar. Kini di usianya yang menginjak 19 tahun, ia tengah mendalami
ilmu kedokteran -sesuai cita-citanya sejak kecil- di salah satu perguruan
tinggi terkenal di Jakarta.
Namun dengan semakin
beranjak dewasanya Jingga, pelangi kehidupan Jingga perlahan-lahan mulai
memudar. Hidupnya kini sudah tak seindah dulu. Dimulai saat terjadi perampokan
yang menimpa rumah Jingga sekitar dua tahun yang lalu. Beberapa surat-surat
berharga dan hampir separuh dari tabungan ayah Jingga yang disimpan dirumah
Jingga raib di bawa oleh perampok. Pada peristiwa itu pula, ayah Jingga
meninggal karena tertembak pistol salah seorang perampok saat berusaha
menyelamatkan hartanya.
Sejak kejadian itu,
hidup Jingga berubah. Ia tidak bisa bermanja-manja lagi. Mau tidak mau kini ia
harus bisa hidup sehemat mungkin yang ia bisa. Keadaan yang berubah memaksanya
untuk ikut merubah diri dan sikapnya. Ditambah lagi, saat perusahaan ayahnya
harus dilelang karena ibu Jingga tidak mampu menebus sertifikatnya dari tangan
para perampok itu. Hidup Jingga pun semakin terperosok. Kini, ia dan ibunya
membiayai hidupnya dengan mengandal kan usaha butik milik ibunya yang juga tak
seramai dulu karena ibunya terpaksa mengurangi kualitas pakaian buatannya demi
mencukupi kebutuhan hidup mereka dan juga biaya kuliah Jingga. Bagi Jingga
keadaan ini telah benar-benar meruntuhkan keindahan pelangi yang selama ini ia
genggam.
Siang itu, Jingga
sedang membantu bibinya –mantan pembantu rumah tangga Jingga yang kini
berjualan di kantin kampus Jingga- yang sedang melayani pelanggannya di kantin
kampus. Jingga sedang berjalan membawa nampan berisi makanan pesanan
pelanggannya, tanpa sengaja mendengar celetukkan seseorang.
“Katanya rumahnya di
Savana Nirvana, masak jualan di kantin?” celetuk seorang mahasiswi.
“Cuma numpang kali di
sana” celetuk mahasiswi lain yang kemudian diikuti gelak tawa puas.
Jingga yang mendengar
itu membuat hatinya merasa panas. Meskipun mereka tidak menyebut namanya secara
langsung, namun ia cukup tahu diri karena memang ia sudah terbiasa dengan
celaan semacam itu, bahkan yang lebih dari itu. Ia berusaha mengabaikan semua
celaan dari orang-orang yang ada disekitarnya, termasuk dari sahabat
terdekatnya dan pacarnya sendiri yang begitu ayahnya bangkrut langsung
meninggalkannya begitu saja.
Selesai mengantarkan
pesanan pelanggannya, Jingga mempercepat langkahnya untuk kembali ke tempat
bibinya. Tanpa sengaja, ia menabrak orang yang ada di depannya. Ia dan orang
yang ditabraknya sama-sama jatuh. Buku-buku yang dibawa orang yang tadi di
tabraknya ikut terjatuh. Jingga buru-buru bangkit dan memunguti buku-buku orang
tersebut.
“Maafkan saya. Saya
tadi sedang buru-buru” kata Jingga seraya terus memunguti buku.
“Gak apa-apa kok. Salah
saya juga tadi jalan gak perhatiin sekitar. Emm... kalo boleh tahu nama kamu
Jingga Pelangi?”
“Hah...? Iya benar. Kok
bisa tahu?”
“Itu” jawab orang yang
tadi ditabraknya sambil menunjuk name tag
yang terpasang di baju Jingga.
“Oh iya” kata Jingga
sambil nyengir.
“Kok rasanya saya sudah
pernah dengar sebelumnya ya? Apa kita sudah saling kenal?”
“Hah? Kenalan? Kapan
ya? Kok rasanya saya belum kenal”
“Ah gini aja deh. Kamu
mahasiswi sini bukan?”
“Iya”
“Fakultas apa?”
“Kedokteran”
“Berarti kita satu
fakultas dong?”
“Hah? Iya tah? Emm...
emang sih aku pernah beberapa kali lihat emm... kakak di Fakultas Kedokteran.
Tapi aku merasa kita belum saling kenal deh”
“Oh gitu ya? Tapi saya
merasa kalo namamu sudah familiar di telinga saya. Ya udah deh gini aja
sekarang kita kenalan. Kenalin namaku Dito. Aku anak FK semester 7. Kamu?”
Mendengar nama Dito,
Jingga merasa familiar juga dengan nama itu. Ia terdiam cukup lama berusaha
mengingat siapa pemilik nama itu.
Melihat Jingga yang
hanya diam saja, Dito melambaikan tangannya didepan mata Jingga. Jingga yang
melihat ada kibasan tangan tepat didepannya langsung tersadar dari lamunannya.
“Oh ya, kenalin aku
Jingga Pelangi. Biasanya dipanggil Jingga. Aku anak FK juga. Tapi baru semester
3”
“Oh baru semester 3.
Berarti adik tingkatku dong. Kamu jualan disini?”
“Saudara yang jualan
disini. Aku cuma bantuin. Eh aku duluan ya, mau bantu-bantu lagi”
“Oh iya, sorry ya udah ganggu kamu”
“Gak ganggu kok, santai
aja. Duluan ya. Dah”
“Dadah”
Sepanjang sisa hari,
Jingga tidak bisa tenang. Ia begitu penasaran dengan Dito, orang yang baru
dikenalnya tapi terasa sangat familiar ditelinganya.
Malam harinya, Jingga
mencoba tidur. Tapi bayangan Dito membuatnya tidak bisa tidur. Ia bangkit dari
posisi tidurnya. Kemudian ia berjalan menuju ke meja belajarnya. Ia
mengobrak-abrik seluruh isi meja belajarnya, namun ia tidak menemukan
tanda-tanda yang menunjukkan ia pernah mengenal Dito. Kemudian ia beralih ke
tumpukkan kardus berisi buku-buku Jingga yang sudah tidak terpakai di bawah
meja belajarnya. Ia membongkar satu persatu kardus-kardus yang ada. Hingga ia
menemukan kumpulan surat cinta buatannya sendiri yang rencananya akan diberikan
ke cinta pertama waktu Jingga SMP dulu, tapi tidak jadi karena Jingga malu.
Berdasarkan surat-surat tersebut, Jingga menemukan identitas Dito. Dito adalah
cinta pertama Jingga sewaktu Jingga SMP dulu. Waktu itu Jingga yang masih kelas
1 SMP jatuh cinta sama Dito yang sudah kelas 3 SMP.
Namun Jingga masih
ragu. Masak iya sih, dia kak Dito yang
dulu? Kok sekarang beda ya? Lagian, kak Dito dulu kan gak kenal sama aku. Aku
dulu kan gak berani ngungkapin kalo aku suka sama dia. Jadi cuma secret admirer
kan? Tapi kalo secara usia, kalo sekarang dia udah semester 7 dan aku baru
semester 3, berarti bener dong?beda 2 tahun. Besok aja deh, tanya sama orangnya
langsung. Jingga sibuk berdebat dalam hatinya sendiri.
Keesokan harinya,
Jingga merasa sangat bersemangat pergi ke kampus. Ia tidak sabar untuk segera
menemui dan bertanya kepada Dito. Kalau nanti ia tidak bertemu dengan Dito di
kantin ia bertekad akan menemuinya di kelasnya.
Setelah mengikuti kelas
yang hanya 2 jam tapi terasa seperti satu hari penuh karena dosennya yang
sangat membosankan, akhirnya Jingga bisa bebas juga. Ia bergegas ke kantin
untuk membantu bibinya sekaligus berharap bisa menemui Dito disana.
Baru beberapa melayani
pelanggan, Jingga melihat Dito memasuki kantin sambil sibuk dengan ponselnya.
Ia buru-buru menyelesaikan pekerjaannya. Ia memberanikan diri untuk menyapanya
terlebih dahulu.
“Pagi kak Dito” sapa
Jingga sambil tersenyum lebar.
“Eh, Jingga. Pagi juga.
Lagi nggak sibuk nih?” kata Dito sambil memasukkan ponselnya ke dalam tasnya.
“Agak longgar sih, kan
kebanyakan masih ada kelas”
“Oh iya sih”
“Kak Dito... boleh
tanya sesuatu gak?” tanya Jingga ragu.
“Boleh. Emangnya mau
tanya apa kok pakek izin dulu?”
“Kak Dito dulu SMP-nya
dimana?”
“SMP Taruna 1. Emangnya
kenapa?”
Mendengar nama SMP-nya
disebut, Jingga langsung terdiam. Berarti
bener. Dia kak Dito yang dulu. Cinta pertamaku batin Jingga dalam hati.
“Jingga kok ngelamun?
Emangnya kenapa sama SMP-ku?” pertanyaan Dito membuat Jingga tersadar dari
lamunannya.
“Gak apa-apa kak. Cuma sedikit terkejut aja,
SMP Taruna 1 kan terkenal mahal. Berarti kakak kaya dong?”
Mereka pun melanjutkan
obrolan mereka yang ngalor-ngidul gak jelas sambil sesekali tertawa bersama.
Jingga sampai lupa untuk membantu bibinya yang dari tadi kerepotan sendiri
melayani pelanggannya yang melimpah ruah karena keasyikan ngobrol dengan Dito.
Selepas membantu
bibinya, seperti biasa Jingga menunggu metromini untuk pulang. Baru beberapa
saat berdiri di pinggir jalan, tiba-tiba sebuah motor berhenti dihadapannya.
Jingga tidak bisa menebak siapa yang ada dibalik helm pengendara tersebut.
Setelah dibuka, ternyata Dito.
“Mau pulang Ga? Bareng
aku yuk. Rumah kamu dimana?”
“Iya kak ini masih
nunggu metromini. Kakak duluan aja, nanti aku malah ngrepotin. Lagian rumahku
jauh kak, di Savana Nirvana”
“Savana Nirvana?
Berarti searah dong sama rumahku. Udah ayo bareng aku aja. Lumayan kan daripada
buat bayar metromini”
“Emang rumah kakak
dimana? Beneran nih gak ngrepotin?”
“Iya beneran gak
ngrepotin. Rumahku di Permata Bulan. Deket kan sama perumahan kamu?”
“Ya udah deh” Jingga
menerima tawaran Dito.
Sepanjang perjalanan
pulang, mereka ngobrol seru. Hingga tak terasa sudah sampai di depan Jingga.
Setelah mengembalikan helm dan mengucapkan terimakasih kepada Dito, Jingga
memasuki rumahnya dengan perasaan yang sangat senang. Sejak bertemu kembali
dengan Dito, entah mengapa Jingga merasa hatinya menjadi hangat dan tidak
sedingin dulu.
Semenjak saat itu,
intensitas kedekatan mereka semakin bertambah. Kini setiap hari mereka selalu
SMS-an. Kadang juga saling telfon-telfonan. Setiap pagi, Dito selalu menjemput
Jingga untuk berangkat bersama ke kampus. Begitu juga sore harinya, Dito selalu
mengantar Jingga pulang selepas Jingga membantu bibinya. Setiap akhir pekan, mereka selalu
menyempatkan diri untuk jalan-jalan bersama. Entah nonton ke bioskop bareng,
kadang ke toko buku, kadang belajar bersama, atau hanya jalan-jalan di sekitar
kompleks perumahan saja saat uang mereka mulai menipis. Jingga merasa nyaman
berada di dekat Dito. Ia berharap Dito juga merasa nyaman saat berada di
dekatnya.
Sampai suatu hari saat
Jingga sedang membantu bibinya, bibinya bertanya kepada Jingga yang Jingga
sendiri sebenarnya tidak tahu jawabannya.
“Mbak Jingga sama Mas
Dito pacaran ya?” tanya bibinya.
“Hah? Pacaran? Ya
enggaklah bi. Kita itu cuma teman dekat saja.”
“Masa sih Mbak? Kok kelihatannya
kayak orang pacaran gitu Mbak. Tiap hari Mas Dito selalu setia nunggu Mbak
Jingga selesai bantuin bibi gitu. Masa nggak pacaran?”
Jingga terdiam. Ia
memikirkan kata-kata bibinya tadi. Iya
juga ya? Kak Dito tiap hari selalu nungguin aku buat pulang bareng. Padahal
kita kan nggak pacaran. Kok dia mau aja ya? Kira-kira Kak Dito nganggap aku
apanya sih? Jingga membatin dalam hati.
“Mbak Jingga itu Mas
Dito udah nyusulin. Kok malah ngelamun?” kata-kata bibinya membuat Jingga
tersadar dari lamunannya.
“Eh iya, kalo gitu aku
pulang duluan ya bi. Dadah bibi,” pamit Jingga pada bibinya.
Di perjalanan pulang
Jingga masih memikirkan kata-kata bibinya. Dito yang melihat Jingga hanya diam
saja sedari tadi mencoba mengajak Jingga ngobrol. Tapi Jingga yang mood-nya lagi kurang baik, hanya
menanggapi seperlunya saja. Akhirnya Dito memilih ikut diam.
Sesampainya di rumah
...
“Assalamu’alaikum, Bu”
ucap Jingga sambil mencium tangan ibunya.
“Wa’alaikumsalam,
pulang sama siapa Ga?” ibunya bertanya.
“Biasa sama Kak
Dito” Jingga menjawab sambil melepas
sepatunya.
“Dito-nya sekarang
mana? Kok gak diajak masuk?”
“Orangnya langsung
pulang. Katanya mau ada acara,”
“Oh.. Jingga, kamu udah
jadian sama Dito? Kok ibu gak diceritain?” tanya ibunya penasaran.
“Hah? Jadian apanya?
Enggak kok. Kita cuma temenan aja,” bantah Jingga.
“Masa sih? Ibu gak
percaya tuh. Masa gak pacaran tapi tiap pagi jemput kamu?”
“Beneran bu, aku gak
bohong. Kita tuh cuma temenan,”
“Gak usah bohong sama
ibu deh, kamu suka kan sama Dito? Kelihatan kok dari mata kamu. Ibu kan juga
pernah muda, Jingga. Udah akui saja. Kalo gak diakui malah gak langgeng lo
nanti..” Ibu Jingga mencoba menggoda Jingga.
“Ibu apaan sih?” sambil
bangkit dari duduknya dan meninggalkan ibunya.
“Loh? Jingga kok malah
pergi?”
Malam harinya, Jingga
tidak bisa tidur. Dalam waktu sehari, ada dua orang yang menanyakan status
hubungannya dengan Dito. Ia merasa bahagia dengan hidupnya yang sekarang,
meskipun status hubungannya gak jelas. Ia ingin menanyakannya kepada Dito,
namun ia ragu.
Keesokan harinya,
Jingga baru saja mengikuti kelas di ruang kelasnya. Ia sedang mengemasi
barang-barangnya dan bersiap untuk pergi ke kantin. Tiba-tiba Fina -teman satu
kelas Jingga- memberitahu Jingga bahwa ada yang mencarinya.
“Jingga, kamu dicariin
pacar kamu tuh,” ujar Fina.
“Pacar siapa? Aku kan
gak punya pacar. Salah orang kali,”
“Salah orang gimana?
Jelas-jelas kok dia nyariin kamu. Lagian, dikelas ini ada berapa orang sih yang
namanya Jingga? Cuma satu kan? Kamu aja kan? Kalo gak percaya tanya aja sama
orangnya.”
Jingga melongokkan
kepalanya ke luar jendela. Terlihat Dito sedang duduk di bangku depan kelasnya.
“Oh dia? Bilang dong.
Dia bukan pacarku. Kita cuma temenan aja,” jawab Jingga santai.
“Apa kamu bilang? Cuma
temen? Mana ada temen yang tiap malam minggu keluar berdua nonton ke bioskop
bareng? Gak ada Jingga, please deh.”
Kata Fina centil.
“Terserah kamu deh,
kamu mau nganggep apa. Aku duluan ya, dadah” ucap Jingga sambil pergi
meninggalkan Fina.
Rencananya, hari ini
Jingga dan Dito akan pergi ke toko buku bersama. Jingga sedang libur tidak
membantu bibinya di kantin. Sepanjang perjalanan ke toko buku, Jingga diam
saja. Ia sibuk memikirkan apakah akan menyakan status hubungannya sekarang
kepada Dito. Melihat Jingga diam saja, Dito bertanya kepada Jingga.
“Jingga, kok tumben
diem. Kenapa? Lagi ada masalah?”
“Gak ada Kak. Emm...
Kak boleh tanya sesuatu gak? Tapi Kak Dito jangan tersinggung ya,”
“Mau tanya apa sih?
Tanya aja gak apa-apa kok. Gak bakalan tersinggung,”
“Emm... Kak Dito
nganggep aku apa sih?” tanya Jingga ragu.
Mendengar pertanyaan
Jingga tersebut, kini gantian Dito yang terdiam. Ia sendiri sebenarnya juga
bingung dengan status hubungannya dengan Jingga. Ia merasa nyaman berada di
dekat Jingga. Namun, apakah setiap kita merasa nyaman berada di dekat seseorang
harus kita ungkapkan dengan sebuah status? Kalau tanpa satus sudah membuat kita
bahagia, kenapa kita harus meributkan sebuah status? Banyak pula yang sudah ada
status jelas tapi hanya digunakan sebatas status tanpa rasa nyaman atau
bahagia. Lalu seberapa penting kah status? Dito sibuk berdebat dalam hati.
Melihat Dito yang hanya diam saja, Jingga ikut terdiam. Mereka pun sibuk dengan
pikiran mereka masing-masing.(Cepil)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar