Aku tinggal di sebuah desa yang
mulanya amat damai. Orang-orang di desa ini kebanyakan bermata pencaharian
sebagai petani, termasuk orang tuaku. Tetapi, beberapa minggu ini, desa kami turun
hujan lebat terus menerus yang menyebabkan para petani gagal panen. Kami pun
mulai kehabisan persediaan bahan makanan.
Lalu, ada seorang
warga menyarankan kepada kepala desa agar segera mengambil tindakan. Dan seorang
tetanggaku menyarankan untuk meminta bantuan kepada ki Welas, dukun di desa
tersebut. Ki Welas menyatakan desa kami memerlukan bantuan angin untuk
menyingkirkan awan hujan tersebut. Dan
untuk memanggil angin ke desa kami, ternyata membutuhkan seorang
perempuan perawan berambut panjang sebagai persembahan untuk angin tersebut.
Aku tidak
terlalu mempercayai perkataan Ki Welas itu, tetapi banyak orang yang menyetujui
rencana itu. Orang-orang mulai memikirkan siapa gadis perawan yang akan menjadi
persembahan angin itu. Aku mulai merasa resah, karena satu-satunya gadis
perawan di desa ini yang masih mempunyai rambut panjang adalah aku.
Sejak adanya
sebuah salon di desa ini, para perempuan di sini ingin memotong rambut mereka
dengan berbagai model. Tetapi tidak dengan ku, rambutku tetap ku biarkan
memanjang karena aku sangat menyukai rambut panjangku.
Orang-orang
akhirnya memohon kepada orang tua ku agar mengizinkan aku menjadi persembahan
mendatangkan angin untuk desa ini. Orang tua ku pun mengizinkan, dan aku merasa
sangat sedih.
“Anakku, ibu
mohon tolonglah desa ini”, ucap ibu dengan lembut kepadaku
“Tapi bu,
aku takut. Memang apa nanti yang akan terjadi padaku?”
“Kau tidak
akan kenapa-kenapa, Ki Welas mengatakan dia hanya memerlukan seorang gadis
untuk memanggil angin ke desa ini setelah awan hujan hilang kita akan hidup
seperti biasa”
Aku
mengerti, jadi aku akan melakukan ini demi desa tempat tinggalku.
Keesokan
harinya hujan masih turun sangat lebat, pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan
segera mempersiapkan diri sebagai persembahan memanggil angin. Ku gunakan
kebaya yang telah disiapkan ibu tadi malam dan ku sisir rambut panjangku yang
dibiarkan tergerai.
Ki Welas
membawaku ke atas bukit di dekat desa, ia menyuruhku duduk di sebuah batu dan
menyanyi untuk memanggil sang angin. Air hujan telah membasahi seluruh tubuhku,
aku pun duduk sambil menyanyi lembut di atas batu. Lima belas menit berlalu,
dan kurasakan angin lembut menerpa tubuhku. Tidak lama kemudian awan hujan
mulai menyingkir, dan matahari mulai nampak merekah.
Angin telah
datang ke desa kami dan mengusir awan hujan dari desa kami. Kurasakan hembusan
angin lembut yang selalu menyertaiku. Rasanya damai dan sejuk, membuat rambutku
berterbangan.
Warga desa
pun kembali senang karena bisa bekerja seperti dulu lagi. Aku juga merasa
senang, setiap hari merasakan kesejukan angin yang seolah selalu menemani dan
menyertaiku.
Suatu malam,
aku merasa merindukan kedamaian dan kesejukan angin. Aku pun keluar rumah. Dan
sepertinya angin merindukanku juga, saat aku diluar angin menymbutku dengan
terpaan yang lumayan besar. Sehingga dapat menerbangkan apapun yang ada di
sekitarku, tetapi aku sangat menikmati hembusan angin ini. Begitu damai dan
menyejukkan
Dan
kebiasaanku itu akhir-akhir ini membuat para warga jengkel karena banyak
jemuran dan genteng atap rumah mereka yang hilang terbawa angin. Mereka mulai
menyalahkanku karena mengira akulah yang menyebabkan angin itu terus-terusan
mendatangi desa kami dan merusak segalanya.
Para warga
memintaku untuk menghentikan angin agar tidak merusak desa kami. Tetapi aku
tidak bisa, angin selalu mendatangiku untuk menghiburku. Akhirnya para warga
membawaku ke tengah desa dan mengikatku di sebuat tiang. Mereka akan
membakarku.
Orang tua ku
tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya menangis tanpa mencoba mencegah para warga
membakarku. Saat kayu bakar telah di letakkan di sekitar tiang, aku hanya bisa
pasrah. Sejujurnya aku sangat takut, tapi aku akan lebih taku lagi jika yang
selalu menghiburku juga hilang. Ku tutup mataku dan berharap angin bisa
menolongku dan pergi membawaku entah kemana.
Kurasakan
panas yang menjulur keseluruh tubuhku, hingga berhembuslah nafas terakhirku.
Api telah melalap semua tubuh gadi
itu hingga hangus. Dan saat itu datanglah angin yang sangat dahsyat memadamkan
api itu. Seakan sang angin bersedih dan marah melihat gadisnya telah dibakar
hidup-hidup oleh orang-orang. Angin menyapu semua yang ada di desa itu menjadi
porak-poranda. Semua yang dilakukan angin terlambat, sang gadis telah mati dan
hanya tersisa abunya saja.
Abu gadis itu terbang bersama
perginya angin. Dan sejak saat itu, desa itu hancur tanpa ada seorangpun yang
masih hidup di desa ini.
Sekarang,
aku akan selalu bersamamu, mengikutimu, dan menyertaimu kemanapun kau pergi.
Aku sangat bahagia bisa bersamamu selalu dan selamanya. (Putor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar