Rabu, 27 Februari 2019

Malaikat



Malaikat

 Oleh: Faridah Minhatun B.







Dulu saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar aku adalah anak yang pemurung di rumah dan pendiam di sekolah. Masa kecilku aku habiskan untuk selalu menuruti apa yang ayahku mau dan apa yang ayahku suruh, untuk bermainpun aku takut, takut dimarahi saat pulang ke rumah.
Ayahku orang yang sangat taat agama, sampai-sampai untuk untuk keluar rumahpun aku tak boleh dengan alasan takut anaknya zina mata, sholat tak boleh telat barang sedikitpun, dan banyak lagi peraturan lainnya yang sangat ketat menurutku. Aku benci Ayahku saat itu, itu karena aku tidak pernah punya rasa nyaman di dekatnya, hanya ada ketakutan demi ketakutan. Aku juga kesal dengan ibuku, dia selalu diam saat Ayah memarahiku. Karena semua itu aku pikir mereka tidak menyayangiku dan aku membenci mereka.
Di Sekolah aku bukan anak yang aktif  karena aku adalah anak yang pendiam, aku pikir mungkin karena aku sering dibully saat itu, teman-temanku di sekolah adalah anak orang kaya, punya barang-barang mahal dan selalu melunasi spp saat  tahun ajaran baru dimulai. Sedangkan aku anak orang biasa tak punya harta berlebih dan orangtuaku hanya seorang petani, saat ingin membeli sepatu pun aku harus menunggu tunggakan spp lunas. Aku tidak pernah iri dengan mereka, tapi mereka selalu menertawakanku hanya karena baju yang aku pakai sudah kekecilan dan kumal, sepatuku yang sudah kehausan dan abu.
Aku tidak pernah merasakan perlindungan di rumah dan sekolahku,  karena yang aku lihat tidak ada satupun yang baik di situ. Hal ini berbanding terbalik dengan posisiku di tempat mengaji, aku adalah anak yang disegani di sini, tidak ada siapapun yang segan mengusikku, mungkin karena aku adalah anak emas disini dan selalu dibanggakan oleh guruku. Sehingga aku merasa nyaman dan menjadikanku sebagai pribadi yang percaya diri dan sangat bisa diandalkan.
Haahhh, itu cerita yang sangat lama, mungkin sudah hampir 10 tahun berlalu tapi aku masih sangat mengingatnya dan takkan pernah aku lupakan. Peristiwa demi peristiwa telah membentuk karakter dalam diriku, seperti apa aku sat ini adalah baru sebagian hasil dari apa yang telah terjadi selama ini. Persepsiku tentang ayah, ibu dan teman-temanku pun berubah seiring bertambahnya pengalamanku dan apa yang lihat dan aku rasakan selama ini.
“ Nina! ” tiba-tiba suara Rasti membuyarkan lamunanku.
“ iya Ras, apaan? ” Rasti adalah teman baikku.
“ hayu makan, btw aku tahu kok kalau kamu pasti belum makan deh ”
“ iya Ras laper nih, mau makan ke mana? ”
“ terserah kamu aja deh, aku sih ikut aja “
“ okedeh..kita ke kantin aja lah yukk “
Sambil tersenyum meng iya kan keinginanku, Rasti mulai bersiap mengambil sandal untuk turun. Dan akupun mengikutinya.
Rasti adalah teman baikku, dia hampir tidak pernah menolak perkataanku meski terkadang aku yakin dia sedang kecapekan atau dia sedang tidak memiliki mood apapun, dia juga selalu menghiburku dengan caranya sendiri saat aku sedang sedih. Dan aku yakin dia adalah teman yang baik dan dapat diandalkan.
Setelah selesai ke kantin aku dan Rasti pun kembali ke kamar, seperti biasa aku sering melamun dan terkadang menuliskan apa yang menjadi lamunanku. Aku sadar saat ini aku sedang sangat rindu dengan keluargaku, aku sangat merindukan mereka aku ingat masa kecilku yang saat itu sangat membenci mereka, dan semakin aku tumbuh dewasa semakin aku sadar bahwa apa yang menjadi penilaianku tehadap mereka adalah salah besar. Ayahku seperti itu karena dia menyayangiku, dia tidak ingin aku tumbuh menjadi seorang anak yang lalai. Meskipun Ayahku sangat keras mendidik anaknya, ternyata Ayahku juga sangat menyayangiku, itu terbukti saat aku melihatnya selalu bekerja keras setiap hari tanpa pernah mengeluh capek sedikitpun. Aku juga ingat betapa jahatnya aku terhadap orang tuaku saat aku duduk di bangku SMP, yang justru melalaikan sekolahku dan sering membohongi mereka tentang banyak hal, tapi yang aku lihat justru mereka tetap mengurusku dan tidak pernah sekalipun membuangku karena hal itu. Hal ini sudah cukup menjadi bukti bahwa mereka memang menyayangiku dan tidak membenciku seperti apa yang ada dalam pikiranku.
Ini hari jumat, berarti besok adalah hari libur. Aku bisa pulang esok hari untuk sekedar melepas rindu ke rumah dan bertemu dengan keluargaku. Rasanya aku tak sabar untuk bertemu dengan mereka, sengaja hari ini aku tidak akan menelepon ayah dan ibu karena aku berniat memberikan kejutan.
“ Rasti, besok aku mau pulang, kamu ga pengen pulang juga? “ aku bertanya ke Rasti        mungkin saja dia juga mau pulang bersama, karena rumah kita searah.
“ kamu mau pulang nin? Aku juga pengen pulang sih, kangen gitu sama adekku”
“ yaudah, kita bareng aja gimana? “
“ yaudah deh, kita pulang bareng aja, kamu pasti takut sendirian yaa “ Rasti menggodaku karena dia tahu kalau aku memang penakut.
“ yaelah, ngga lah Ras, kan aku kasihan sama kamu, kamu pasti lagi kangen sama adekmu yang lucu banget itu kann? “ aku pun mencoba menggodanya.
“ tahu aja kamu Nin “ sambil tertawa dia mencoba meledekku.
“ udahlah, pokoknya besok kita pulang bareng yaa “
“ okedeh, siap Nina “
            Tak terasa hari jum’at akan segera berakhir, dan tiba waktunya besok adalah hari libur yang sangat sempit, yah walaupun begitu cukuplah untuk sekedar pulang dan melepas kerinduan barang sebentar juga. Aku juga yakin Rasti akan senang juga saat pulang nanti, kan dia juga sedang sangat merindukan adik kecilnya yang sangat lucu itu. Ibu dan Ayahku juga pasti akan sangat kaget saat aku pulang besok karena aku jarang sekali punya kesempatan untuk pulang karena jadwalku sendiri sangat sibuk untuk kuliah dan menyelesaikan tugas-tugas kuliahku.
            Tiba hari sabtu yang cerah ini aku dan Rasti mulai bersiap untuk pulang dan menemui keluarga tercinta masing-masing. Sebelum jam tujuh pagi aku dan Rasti sudah siap untuk berangkat, saat sudah berada dalam bus, kami pun ketiduran karena memang perjalanan ke rumah membutuhkan waktu yang sangat lama.
            Di tengah perjalan, aku terbangun dan mendapati Rasti sedang tertidur pulas. Aku lihat jam menunjukkan pukul sembilan, yang berarti terminal pemberhentian pertama sudah dekat. Akupun membangunkan Rasti yang sedang tertidur pulas.
“ Ras, bangun Ras, sudah hampir sampai terminal “ aku goyang-goyang tangannya sampai ia terbangun.
“ kok cepet Nin? “ sambil mengucek matanya ia bertanya.
“ lah iya ini udah jam sembilan Ras, bentar lagi sampe kan “
“ eh iya Nin, bentar lagi sampai. Kamu abis ini lanjut sendiri nih, beneran? “
“ iya Ras, masa aku minta anterin kamu sampai rumah, kan ngga mungkin Ras. “
“ iya deh Nin, kamu harus hati-hati loh, jangan mainan Hp di jalan biar ga mancing kejahatan, terus tuh masker jangan sampai di lepas juga. “
“ iya iya Ras, aku ngerti kok tenang aja.” sambil meyakinkan Rasti aku mulai mengecek barang-barangku agar tidak ada yang tertinggal.
            Rasti adalah teman yang sangat perhatian dan orang yang sangat detail mengenai segala hal, wejengan dari dia sudah seperti wejengan dari orang tuaku sendiri.
            Tibalah di pemberhentian pertama, aku dan Rasti pun turun dan kali ini kami harus pisah bus. Rasti mulai naik ke dalam bus yang menjadi tujuannya, dan dia melambai sambil berteriak hati-hati kepadaku, akupun melambai kepadanya dan mengangguk. Ah Rasti baik sekali menurutku, aku selalu merasa aman berada di dekatnya.
            Aku masih menunggu bus yang menjadi tujuanku datang selama beberapa menit, dan akhirnya bus yang menjadi tujuanku pun datang, aku pun masuk kedalam bus bersama orang-orang yang ikut menunggu bus yang sama denganku. Aku pun duduk sambil mencari angel yang tepat agar bisa melihat jalanan dengan leluasa.
            Perjalanan masih lama tapi aku sudah mulai merasakan kantuk lagi, akhirnya aku mengecek Hp siapa tau Rasti atau ibuku mengirimkan pesan singkat untukku. Aih ternyata ibu sempat menelponku beberapa kali dan aku lupa mengaktifkan mode suaranya. Akupun menelpon balik ibuku dan dia bertanya mengenai kabarku, akupun mengatakan hal yang sejujurnya kalau aku sedang baik-baik saja. Aku dengar suara ibuku di sebrang sana seperti sangat lega mengetahui kabarku yang sedang baik-baik saja, akupun demikian sangat senang mendengar ibuku mengucap hamdalah dengan lega.
            Setelah telpon ditutup aku sudah tidak merasa mengantuk sama sekali. Ah aku ingat kalau aku membawa buku berjudul Edensor karya Andrea Hirata yang aku beli seminggu lalu dan belum sempat aku baca. Dalam hatiku aku selalu senang saat membaca buku karya-karya dari idolaku ini, karena semua karyanya dapat dengan mudah ditangkap oleh otak dan otak pun dapat dengan mudah memvisualisasikan apa yang ada di dalamnya. Cerita dalam buku ini mengingatkanku akan apa yang sedang aku jalani sekarang, andrea yang sedang merantau sama denganku, meskipun kota perantauanku tak sejauh negara perantauannya Andrea Hirata.
            Jam telah menunjukkan pukul sepuluh lebih, ini berarti sebentar lagi aku akan segera sampai di terminal pemberhentian terakhirku. Aku pun memasukkan buku Edensor ke dalam tas. Aku lihat jalanan yang semakin panas menandakan hari sudah semakin siang dan terminal semakin dekat, aku mulai mengecek barangku agar tidak ada yang tertinggal di dalam bus.
            Akhirnya aku turun dari dalam bus dan mulai naik ojek agar cepat sampai ke rumah, maklumlah rumahku ada di pelosok desa da harus menempuh perjalanan agak jauh untuk sampai.
Lamat-lamat aku melihat seorang perempuan paruh baya dari kejauhan yang sedang duduk di teras rumahnya yang bercat hijau, akupun turun dari motor dan membayar uang kepada tukang ojeknya. Di depan rumah tersebut aku tersenyum melihat ke perempuan paruh baya tersebut, dan dia mulai berdiri tersenyum kembali kearahku lalu aku berlari dan segera memeluknya.
 Ibuku terlihat sangat senang saat aku pulang lalu ibu pun mengajakku masuk kedalam rumah, aku lihat ayahku sedang duduk di depan televisi sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok dengan masih memakai pakaian lengkap ala petani. Ayahku terlihat kaget saat aku pulang lalu aku mencium tangannya. Ayah terlihat sedang sangat kecapekan dan berkeringat, sepertinya ayah baru saja pulang dari sawah. Ayah bertanya kenapa aku pulang lalu aku menjawab kalau ada libur tiga hari dan aku sedang sangat ingin pulang.
Ibu menyuruhku makan terlebih dahulu lalu beristirahat, aku pun mengambil makan lalu duduk bersama ayah dan ibuku di depan televisi. Ibu dan Ayah bertanya kenapa aku tidak memberitahu terlebih dulu kalau akan pulang dan aku pun mengatakan kalau aku ingin memberikan kejutan kepada mereka. Entah kenapa hanya dengan percakapan sederhana seperti ini aku merasa sangat bahagia dan merasa sangat nyaman.
Ibu dan Ayah bertanya banyak hal kepadaku tentang kegiatan dan tentang kabar atau hanya sekedar bercerita apa yang terjadi saat aku sedang di kota perantuan. Percakapan-percakapan kecil dan ringan seperti ini lah yang aku rindukan meskipun aku tetap tidak bisa mengobati rinduku kepada adik-adikku yang semua sedang ada di pesantren. Ini sudah cukup menenangkan bagiku.
Setelah aku selesai makan aku pun mencuci tangan dan kaki lalu beristirahat. Badanku pegal sekali karena selesai menempuh perjalanan yang jauh. Aku tidak bisa membayangkan betapa pegal dan beratnya Ayah dan Ibuku selama ini dalam mengurusku dan adik-adikku.

---Selesai---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar