Rabu, 14 September 2011


Suatu pagi di hari minggu, ketika saya sedang joging, saya melihat seorang satpam menarik tangan sepasang sejoli. Awalnya saya kira ada yang pingsan, tetapi samar-samar saya dengar pak satpam membentak sejoli itu “Kamu mau ditelanjangi semua? Di kampus ini, racun kamu itu!!” sambil terus berjalan ke pos satpam. Sepasang sejoli itu tertunduk pasrah.
Saya hanya tersenyum melihat kejadian itu sambil mengeleng-gelengkan kepala. Di benak saya timbul beberapa pertanyaan, tetapi tidak satupun dari pertanyaan itu ingin mengetahui siapa kedua orang itu.
Pertanyaan pertama, Apa yang mereka lakukan? Secara, waktu itu arloji yang saya pakai masih menunjukkan pukul 06.00 WIB. Mereka mencuri atau melanggar peraturankah? Tidak kedua-duanya. Mereka hanya muda-mudi yang sedang jatuh cinta dan tidak bisa menahan nafsunya. Ya……. Pak satpam menemukan mereka di kamar mandi. Tentu saja saya tidak tahu apa yang mereka lakukan, dan mungkin pak satpam yang kebetulan kebelet pipis itu saja yang tahu apa yang mereka lakukan. Opsi beberapa hari kemudian, dari beberapa sumber mengatakan bahwa mereka sedang memegang-megang satu sama lain, ada juga yang mengatakan mereka sedang berciuman dan melepas pakaian, dll. (Tapi bahasan ini tidak bermaksud untuk mengeksplor kedua orang itu).
Sebegitu bobroknya kah moral bangsa ini.... Oh Tuhan!
Dari sini timbul pertanyaan kedua, Semua ini salah siapa? Berbeda dengan pertanyaan pertama, pertanyaan kedua ini akan lebih melibatkan banyak pihak. Mungkin juga akan terjadi proses saling melemparkan kesalahan. Apakah ini salah anu (alat reproduksi)nya, akalnya, orangtuanya, gurunya, atau lingkungannya?
Tidak satupun dari mereka luput dari kesalahan, mungkin itu hipotesis saya. Tapi coba dengar, si Anu mulai angkat bicara:
“Bukan salahku la…h, aku kan cuma alat saja, salahkan si Akal tuh… kenapa juga dia mikir kesana-sana!! Dia juga tuh pasti yang nyuruh otak buat nggerakin aku”.
“Enak aja!!”, jawab si Akal, “Kenapa gue yang disalahin? Kalau gue kagak mikir begitu, manusia kagak bakal berkembang biak. Habis isi dunia ini. Salahin yang punya anak tuh! Dikasih apa anaknya kok bisa kayak begitu”.
Orangtua menjawab, “Lho… kok kami yang disalahkan, padahal kami sudah mengeluarkan banyak uang untuk menyekolahkan dia. Untuk apa pelajaran moral itu diajarkan kalau ternyata tidak ada efeknya. Seharusnya Guru yang disalahkan!! Kalau tidak bisa mendidik, kenapa jadi guru?”.
Guru protes, “Kenapa guru yang disalahkan? Guru sudah bekerja sekuat tenaga untuk mendidik, menggantikan peran orangtua. Tapi kan anak belajar di sekolah hanya 6 jam sehari, selebihnya mereka dimana? Lingkunganlah yang lebih berperan membentuk mereka”.
“Oh, jadi nyalahin aku?!”, Lingkungan berang. “Memangnya apa yang telah kulakukan? Aku itu hanya memfasilitasi, aku diam, aku tidak pernah melakukan apa-apa pada siapa-siapa. Kalau mau menyalahkan, salahkan saja si anak itu sendiri. Jangan bawa-bawa aku segala dunk………………..!!!”.
Lha terus, apa pak satpam yang harus disalahkan karena kebelet pipis?
Proses pengkambing hitaman ini sepertinya sudah mendarah daging dalam kehidupan bangsa Indonesia. Saya sering mendengar ibu-ibu yang ketika anaknya yang baru belajar berjalan jatuh, berkata: “Aduh sayang, kodoknya nakal ya!! (sambil menginjak-injak tempat bekas anak itu jatuh). Diinjak ya!! Sudah… sudah pergi kodoknya”. Loh bu…. Emangnya kodok salah apa? Kok tega-teganya nyalahin kodok yang secara... kagak salah apa-apa. Untung kodok-kodok itu gak bisa ngomong bahasa manusia, kalau mereka marah trus demo, kan gawat!!?
Dari sini terlihat jelas bahwasanya mengkambinghitamkan orang lain sudah tertanam sangat dalam di jiwa anak-anak, bahkan sejak mereka belum paham apa itu kodok, kambing, dan apa itu hitam. Mereka mendapatkan pelajaran kepribadian itu dari orang-orang yang menyayangi mereka. Kalau orangtuanya saja mendidik seperti itu, bagaimana dengan anak-anak yang dididik orang lain?
Kembali ke pokok masalah, problem moral terus bertambah setiap hari, bahkan setiap detiknya. Korupsi masih marak, pornografi merajalela, kriminal bertebaran dimana-mana. Sebenarnya orang-orang itu orang mana sich? Orang Indonesia bukan? Kalo iya, kenapa kok mau ngrusak bangsa sendiri? Lagi pula, memangnya sekarang Indonesia mana lagi yang masih bisa dirusak? Miris bukan mendengarnya…. Saking sudah rusak semua sampai-sampai ada yang bertanya Indonesia mana lagi yang masih bisa dirusak?.
Untuk memperbaiki semua itu, yang terpenting adalah kesadaran diri sendiri lebih dulu. Jika semua orang sadar, seluruh komponen dalam masyarakat bergerak dalam tugasnya, Indonesia ini pasti bisa dibenahi. Dimulai dari diri kita masing-masing, demi Indonesia tercinta. Lebih baik Indonesia hancur di bom oleh musuh, lebih terhormat daripada hancur karena tangan-tangan anak bangsa yang tak bertanggungjawab. Memalukan.
Posted by

Tidak ada komentar:

Posting Komentar