Kamis, 30 November 2017

Kisah Lalu di Dapur Umum



Deraian hujan gerimis dan angin semilir menusuk tubuhku, membekukan rusukku yang bersandar di bawah pohon weni. Anak-anak berlarian menuju tenda-tenda pengungsian kembali ke pelukan ibu mereka. Hujan mulai agak deras, aku pun masuk ke tenda dapur umum. Ku lihat kawan-kawanku tidur terlelap kecapaian setelah menyiapkan kebutuhan logistik korban. Hanya beberapa yang masih terlihat membereskan barang-barang berserakan di tenda. Aku tak tergerak untuk membantu mereka. Tapi mataku terpana pada gadis kecil berkuncir. Sepertinya anak itu masih sekitar 5 tahun. Ku dekati dia yang jongkok di pintu tenda sambil sesekali tangannya bermain air hujan. Anak-anak di desa ini sangat kuat, keceriaan di wajahnya sama sekali tak menggambarkan mereka telah mengalami bencana.
“Dik, sedang apa di sini?” Dia hanya menatapku, sepertinya takut karena kedatanganku.
“Eh, jangan takut. Nama kamu siapa?” ku rentangkan tanganku padanya. Tapi dia tak berani membalas rentangan tanganku.
“Eeem, kalau begitu kakak dulu deh yang sebutin nama. Kenalin nama kakak Najwa.”
“Ila.” Dia meraih tanganku dan menyebutkan namanya.
Tuhan, ku lihat matanya. Seperti tak asing lagi dengan mata itu. Entahlah aku tidak tahu mengapa aku langsung memeluk tubuh mungilnya. Kunciran rambutnya, seperti aku telah terbiasa dengan anak ini. Terasa seperti masuk ke ruang masa lalu ketika aku seumuran Ila.
Kemudian datang wanita berjilbab yang nampaknya sebaya dengan usiaku. Ila melepaskan pelukanku dan berlari ke wanita itu.
“Ila, adikmu sudah tidur. Ila jaga adik ya.  Jangan sampai ketindihan baju-bajunya orang-orang.” Wanita itu berkata dengan lemah lembut pada Ila, kemudian menatapku. Sepertinya aku pernah bertemu dengan mata itu. “Eggeh buk,” Ila pergi meninggalkan kami tapi aku tak menolehnya. Aku tetap menatap mata wanita yang ternyata adalah ibu Ila.
“Najwa, kamu Najwa kan?” Dia mengenalku, tapi dia siapa? Aku tidak pernah ke tempat ini. Bagaimana dia tahu namaku? “Ha ha ha, kamu pasti sudah lupa denganku kan. Semakin cantik kamu jadi orang kota.” Ku lihat senyumannya. Memang serasa aku pernah melihat senyuman itu, tapi taka da bayangan apapun yang terlintas di kepalaku. “Ee, maaf. Saya tidak pernah tinggal disini. Bagaimana mbak tahu nama saya?”
“Aku sahabat kecilmu waktu di Ketapang Kuning.”
“Dewi? Benar kamu Dewi?” Kemudian dia memelukku, tak tahu apakah rambutnya masih suka dikuncir seperti dulu.
“Kamu ko bisa di Sleman Wi?”
“Ceritanya panjang Wa, Kamu kan pindah setelah lulus SD. Kamu tidak tahu ceritaku selanjutnya.” Aku tak memaksakannya bercerita, aku paham betul sifatnya yang tertutup. Tapi dia memulai berbicara lagi. “Bapakku meninggal ketika SMP kelas dua, ibuku bekerja keras untuk membiayai sekolahku dan adik-adikku. Setalah lulus aku memutuskan untuk berhenti sekolah. kemudian kakekku menjodohkanku.”
“Jadi ini desa suamimu?”
“Iya, dan anakku sudah dua.” Dia masih sama seperti yang dulu, semuanya dia ceritakan dengan senyuman. “Wa, aku mau mengambil makanan untuk anak-anakku.” Aku hanya membalasnya dengan anggukan, kemudian dia meninggalkanku bersama angin dingin yang kembali menusuk tulangku. Aku tak menyangka akan bertemu dengannya di sini.  Ku kira dia sudah menjadi dokter seperti cita-cita yang diimpikannya. (Kanisar)

Kanisar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar