Kamis, 30 November 2017

Sepotong Daging Ibuku



Rifka, panggilan akra yang biasanya dilontarkan teman-temanku untuk memanggilku, seorang santri di sebuah pondok pesantren kecil yang terletak di sudut Kota Paciran, Lamongan. Ibuku adalah seorang penjual gorengan di kampungku yang penghasilannya bisa dikatakan di bawah rata-rata jika dibandingkan dengan penghasilan orang tua teman-temanku di pondok. Namun, bagiku ibuku adalah pahlawan yang jasanya tak pernah bisa dibalas dengan apapun. Beliau adalah segala-galanya bagiku. Beliau tidak hanya menjadi pendidik dan pembimbingku, namun juga menjadi tulang punggung keluarga. Karena ayah telah meninggalkan kami tanpa sebab saat aku masih berumur 1 tahun.
Kebanyakan teman-temanku adalah tergolong masyarakat dengan perekonomian kelas atas. Kehidupan mereka mewah dan kebutuhan mereka tercukupi. Namun hidupku, layaknya sudut 1800, kehidupanku berbanding terbalik dengan kehidupan mereka. Untuk membeli kebutuhan hidup saja aku harus menunda, menunda, dan terus menunda sampai ibuku mampu membelikannya.
Setiap hari, ibu tak lupa menjengukku meski hanya dengan membawakanku beberapa buah gorengan saja. Jika beliau membawakanku nasi, lauk yang kudapati tak pernah berbeda dengan lauk-lauk yng biasanya dibawakan untukku; tahu, tempe, dan sambal goreng. Sedangkan teman-temanku, meraka tak  mau makan jika tidak berlaukkan daging dan makanan-makanan yang enak. Pada awalnya, aku tak peduli dengan keaadaan yang seperti ini. Namun seiring berjalannya waktu, apalagi saat itu aku masih duduk di bangku SMP yang mana emosiku masih labil, rasa percaya diri itu mulai memudar beriringan dengan nasibku yang tak kunjung berubah. Tak mampu lagi aku menerima takdir yang terlalu kejam padaku. Akhirnya sedikit demi sedikit aku mulai menuntut ibuku dengan meminta ini dan itu.
Suatu hari, aku meminta ibuku untuk membeliaknku daging ayam. Namun ibuku tak mampu mewujudkan keinginanku tersebut. Beliau mengatakan bahwa saat itu beliau tak punya uang sama sekali. Beliau harus membayar hutang-hutnagnya kepada tetanggaku yang sudah lama ditangunggnya. Namun ego yang telah menguasi pikiranku membuatku menuntutnya. Bahkan setiap kali aku dikunjunginya, aku terus menuntutnya.
Bagaimanapun kondisinya, seorang ibu tak pernah memikirkan dirinya sendiri demi membahagiakan buah hatinya. Ia selalu mendahulukan kepentingan dan keinginan anaknya. Hingga terjadilah kejadian yang tak akan pernah kulupakan dalam sejarah hidupku itu.
Suatu hari ibu berjalan terseok-seok saat mengunjungiku. Seperti biasanya, ibu membawakanku nasi. Namun hari ini ada yang berbeda dengan hari-hari biasanya. Saat rantang nasi dibuka, aku melihat sepotong daging di atas nasi yang dibawakan ibu. “Akhirnya aku makan daging”, batinku berkata dengan senyuman terpancar di wajahku.
Aku tak langsung memakan nasi itu. Aku bertanya kepada ibu dari mana ibu mendpatkan uang untuk membeli daging ini. Aku juga bertanya mengapa ibu berjalan terseok-seok. Ibu tak mau menjawab pertanyaanku dan langsung mengalihkan pembicaraan. Beberapa saat kemudian setelah aku menanyakannya berulang-ulang sembari memaksanya untuk menjawab pertanyaanku, akhirnya angkat bicara. “Nak, sebenarnya daging itu adalah….. adalah…..” “Adalah apa bu?” tanyaku menyela perkataannya karena tak sabar lagi menunggu jawaban yang sesungguhnya. “Daging itu adalah….. adalah….. potongan…potongan daging di paha ibu sendiri. Maaf nak, ibu tak bisa mewujudkan keinginanmu. Akhirnya ibu lakukan ini. Ibu tak punya jalan keluar lagi,” jawabanya dengan punuh ketulusan di wajahnya.
Tak terasa air mata mengucur deras membasahi wajahku. Tak tahan lagi aku menahannya mendengar jawabna yang dilontarkan ibuku. Aku menangis tersedu-sedu di pelukannya. Tak pernah sedikitpun terlintas di benakku ibu akan melakukan hal senekat ini.
Itulah seorang ibu, tak pernah memikirkan diri sendiri demi kebahagiaan sang buah hati. Nyawa bukanlah segala-galanya baginya demi keselamatan sang buah hati. Apapun ia korbankan asalkan sang buah hati bahagia. Oleh karena itu, jangan pernah menuntutnya melakukan sesuatu di luar batas kemampuannya. En ibu adalah orang yang tega, tega menyakiti dirinya sendiri demi kebahagiaan sang buah hati.


                                                                                              
                                                                                     Created by:
                                                                       Fachriza Mahdiyatul Husna
                                                                                    (Lempung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar