Kamis, 30 November 2017

PELANGI JINGGA



Cuaca siang itu terasa sangat panas. Terik matahari terasa begitu sangat menyengat seakan-akan jarak matahari hanya sejenggal tangan diatas tangan. Udara yang panas sejalan dengan hati Jingga yang lagi-lagi mendadak terasa panas karena berbagai celaan yang diterimanya.
Namanya Jingga Pelangi. Menurut cerita ibunya, ia diberi nama itu karena ia dilahirkan pada saat pelangi muncul di langit sore yang berwarna jingga -yang menurut ibunya sangat indah. Dalam nama tersebut pula, orang tua Jingga menyelipkan harapan dan do’a yang terbaik untuk kehidupan Jingga kelak. Pada kata Jingga, orang tuanya berharap jika suatu saat nanti Jingga akan tumbuh menjadi seorang gadis yang seindah langit yang berwarna jingga di sore hari. Sedangkan pada Pelangi, orang tuanya menyelipkan harapan Jingga akan mendapatkan kehidupan yang berwarna-warni seindah warna pelangi.
Harapan-harapan tersebut nyaris semuanya terkabul. Jingga tumbuh menjadi gadis yang cantik. Menurut ibunya, kecantikan yang dimiliki oleh Jingga sudah seperti keindahan langit jingga di sore hari. Ia memiliki tubuh tinggi semampai dan kulit yang putih bersih dan halus seperti awan di langit. Wajahnya berbentuk oval dengan mata yang tidak terlalu sipit, tetapi juga tidak terlalu lebar. Bola matanya berwarna cokelat muda yang sekilas tampak mirip dengan lensa kontak. Hidungnya mancung seperti milik orang-orang luar negeri. Bibirnya tipis dan mungil berwarna pink. Maka sempurnalah fisik Jingga.
Kehidupan sehari-hari Jingga sudah seperti pantulan warna-warni pelangi yang indah. Hidup Jingga selalu menyenangkan dan hampir tidak pernah berakhir mengecewakan. Apapun yang diinginkannya pasti akan dituruti oleh orang tuanya. Sejak kecil Jingga juga selalu mendapat pendidikan yang terbaik dari sekolah-sekolah yang terkenal elite dan terbaik kualitasnya. Tidak heran jika kini Jingga tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan pintar. Kini di usianya yang menginjak 19 tahun, ia tengah mendalami ilmu kedokteran -sesuai cita-citanya sejak kecil- di salah satu perguruan tinggi terkenal di Jakarta.
Namun dengan semakin beranjak dewasanya Jingga, pelangi kehidupan Jingga perlahan-lahan mulai memudar. Hidupnya kini sudah tak seindah dulu. Dimulai saat terjadi perampokan yang menimpa rumah Jingga sekitar dua tahun yang lalu. Beberapa surat-surat berharga dan hampir separuh dari tabungan ayah Jingga yang disimpan dirumah Jingga raib di bawa oleh perampok. Pada peristiwa itu pula, ayah Jingga meninggal karena tertembak pistol salah seorang perampok saat berusaha menyelamatkan hartanya.
Sejak kejadian itu, hidup Jingga berubah. Ia tidak bisa bermanja-manja lagi. Mau tidak mau kini ia harus bisa hidup sehemat mungkin yang ia bisa. Keadaan yang berubah memaksanya untuk ikut merubah diri dan sikapnya. Ditambah lagi, saat perusahaan ayahnya harus dilelang karena ibu Jingga tidak mampu menebus sertifikatnya dari tangan para perampok itu. Hidup Jingga pun semakin terperosok. Kini, ia dan ibunya membiayai hidupnya dengan mengandal kan usaha butik milik ibunya yang juga tak seramai dulu karena ibunya terpaksa mengurangi kualitas pakaian buatannya demi mencukupi kebutuhan hidup mereka dan juga biaya kuliah Jingga. Bagi Jingga keadaan ini telah benar-benar meruntuhkan keindahan pelangi yang selama ini ia genggam.
Siang itu, Jingga sedang membantu bibinya –mantan pembantu rumah tangga Jingga yang kini berjualan di kantin kampus Jingga- yang sedang melayani pelanggannya di kantin kampus. Jingga sedang berjalan membawa nampan berisi makanan pesanan pelanggannya, tanpa sengaja mendengar celetukkan seseorang.
“Katanya rumahnya di Savana Nirvana, masak jualan di kantin?” celetuk seorang mahasiswi.
“Cuma numpang kali di sana” celetuk mahasiswi lain yang kemudian diikuti gelak tawa puas.
Jingga yang mendengar itu membuat hatinya merasa panas. Meskipun mereka tidak menyebut namanya secara langsung, namun ia cukup tahu diri karena memang ia sudah terbiasa dengan celaan semacam itu, bahkan yang lebih dari itu. Ia berusaha mengabaikan semua celaan dari orang-orang yang ada disekitarnya, termasuk dari sahabat terdekatnya dan pacarnya sendiri yang begitu ayahnya bangkrut langsung meninggalkannya begitu saja.
Selesai mengantarkan pesanan pelanggannya, Jingga mempercepat langkahnya untuk kembali ke tempat bibinya. Tanpa sengaja, ia menabrak orang yang ada di depannya. Ia dan orang yang ditabraknya sama-sama jatuh. Buku-buku yang dibawa orang yang tadi di tabraknya ikut terjatuh. Jingga buru-buru bangkit dan memunguti buku-buku orang tersebut.
“Maafkan saya. Saya tadi sedang buru-buru” kata Jingga seraya terus memunguti buku.
“Gak apa-apa kok. Salah saya juga tadi jalan gak perhatiin sekitar. Emm... kalo boleh tahu nama kamu Jingga Pelangi?”
“Hah...? Iya benar. Kok bisa tahu?”
“Itu” jawab orang yang tadi ditabraknya sambil menunjuk name tag yang terpasang di baju Jingga.
“Oh iya” kata Jingga sambil nyengir.
“Kok rasanya saya sudah pernah dengar sebelumnya ya? Apa kita sudah saling kenal?”
“Hah? Kenalan? Kapan ya? Kok rasanya saya belum kenal”
“Ah gini aja deh. Kamu mahasiswi sini bukan?”
“Iya”
“Fakultas apa?”
“Kedokteran”
“Berarti kita satu fakultas dong?”
“Hah? Iya tah? Emm... emang sih aku pernah beberapa kali lihat emm... kakak di Fakultas Kedokteran. Tapi aku merasa kita belum saling kenal deh”
“Oh gitu ya? Tapi saya merasa kalo namamu sudah familiar di telinga saya. Ya udah deh gini aja sekarang kita kenalan. Kenalin namaku Dito. Aku anak FK semester 7. Kamu?”
Mendengar nama Dito, Jingga merasa familiar juga dengan nama itu. Ia terdiam cukup lama berusaha mengingat siapa pemilik nama itu.
Melihat Jingga yang hanya diam saja, Dito melambaikan tangannya didepan mata Jingga. Jingga yang melihat ada kibasan tangan tepat didepannya langsung tersadar dari lamunannya.
“Oh ya, kenalin aku Jingga Pelangi. Biasanya dipanggil Jingga. Aku anak FK juga. Tapi baru semester 3”
“Oh baru semester 3. Berarti adik tingkatku dong. Kamu jualan disini?”
“Saudara yang jualan disini. Aku cuma bantuin. Eh aku duluan ya, mau bantu-bantu lagi”
“Oh iya, sorry ya udah ganggu kamu”
“Gak ganggu kok, santai aja. Duluan ya. Dah”
“Dadah”
Sepanjang sisa hari, Jingga tidak bisa tenang. Ia begitu penasaran dengan Dito, orang yang baru dikenalnya tapi terasa sangat familiar ditelinganya.
Malam harinya, Jingga mencoba tidur. Tapi bayangan Dito membuatnya tidak bisa tidur. Ia bangkit dari posisi tidurnya. Kemudian ia berjalan menuju ke meja belajarnya. Ia mengobrak-abrik seluruh isi meja belajarnya, namun ia tidak menemukan tanda-tanda yang menunjukkan ia pernah mengenal Dito. Kemudian ia beralih ke tumpukkan kardus berisi buku-buku Jingga yang sudah tidak terpakai di bawah meja belajarnya. Ia membongkar satu persatu kardus-kardus yang ada. Hingga ia menemukan kumpulan surat cinta buatannya sendiri yang rencananya akan diberikan ke cinta pertama waktu Jingga SMP dulu, tapi tidak jadi karena Jingga malu. Berdasarkan surat-surat tersebut, Jingga menemukan identitas Dito. Dito adalah cinta pertama Jingga sewaktu Jingga SMP dulu. Waktu itu Jingga yang masih kelas 1 SMP jatuh cinta sama Dito yang sudah kelas 3 SMP.
Namun Jingga masih ragu. Masak iya sih, dia kak Dito yang dulu? Kok sekarang beda ya? Lagian, kak Dito dulu kan gak kenal sama aku. Aku dulu kan gak berani ngungkapin kalo aku suka sama dia. Jadi cuma secret admirer kan? Tapi kalo secara usia, kalo sekarang dia udah semester 7 dan aku baru semester 3, berarti bener dong?beda 2 tahun. Besok aja deh, tanya sama orangnya langsung. Jingga sibuk berdebat dalam hatinya sendiri.
Keesokan harinya, Jingga merasa sangat bersemangat pergi ke kampus. Ia tidak sabar untuk segera menemui dan bertanya kepada Dito. Kalau nanti ia tidak bertemu dengan Dito di kantin ia bertekad akan menemuinya di kelasnya.
Setelah mengikuti kelas yang hanya 2 jam tapi terasa seperti satu hari penuh karena dosennya yang sangat membosankan, akhirnya Jingga bisa bebas juga. Ia bergegas ke kantin untuk membantu bibinya sekaligus berharap bisa menemui Dito disana.
Baru beberapa melayani pelanggan, Jingga melihat Dito memasuki kantin sambil sibuk dengan ponselnya. Ia buru-buru menyelesaikan pekerjaannya. Ia memberanikan diri untuk menyapanya terlebih dahulu.
“Pagi kak Dito” sapa Jingga sambil tersenyum lebar.
“Eh, Jingga. Pagi juga. Lagi nggak sibuk nih?” kata Dito sambil memasukkan ponselnya ke dalam tasnya.
“Agak longgar sih, kan kebanyakan masih ada kelas”
“Oh iya sih”
“Kak Dito... boleh tanya sesuatu gak?” tanya Jingga ragu.
“Boleh. Emangnya mau tanya apa kok pakek izin dulu?”
“Kak Dito dulu SMP-nya dimana?”
“SMP Taruna 1. Emangnya kenapa?”
Mendengar nama SMP-nya disebut, Jingga langsung terdiam. Berarti bener. Dia kak Dito yang dulu. Cinta pertamaku batin Jingga dalam hati.
“Jingga kok ngelamun? Emangnya kenapa sama SMP-ku?” pertanyaan Dito membuat Jingga tersadar dari lamunannya.
 “Gak apa-apa kak. Cuma sedikit terkejut aja, SMP Taruna 1 kan terkenal mahal. Berarti kakak kaya dong?”
Mereka pun melanjutkan obrolan mereka yang ngalor-ngidul gak jelas sambil sesekali tertawa bersama. Jingga sampai lupa untuk membantu bibinya yang dari tadi kerepotan sendiri melayani pelanggannya yang melimpah ruah karena keasyikan ngobrol dengan Dito.
Selepas membantu bibinya, seperti biasa Jingga menunggu metromini untuk pulang. Baru beberapa saat berdiri di pinggir jalan, tiba-tiba sebuah motor berhenti dihadapannya. Jingga tidak bisa menebak siapa yang ada dibalik helm pengendara tersebut. Setelah dibuka, ternyata Dito.
“Mau pulang Ga? Bareng aku yuk. Rumah kamu dimana?”
“Iya kak ini masih nunggu metromini. Kakak duluan aja, nanti aku malah ngrepotin. Lagian rumahku jauh kak, di Savana Nirvana”
“Savana Nirvana? Berarti searah dong sama rumahku. Udah ayo bareng aku aja. Lumayan kan daripada buat bayar metromini”
“Emang rumah kakak dimana? Beneran nih gak ngrepotin?”
“Iya beneran gak ngrepotin. Rumahku di Permata Bulan. Deket kan sama perumahan kamu?”
“Ya udah deh” Jingga menerima tawaran Dito.
Sepanjang perjalanan pulang, mereka ngobrol seru. Hingga tak terasa sudah sampai di depan Jingga. Setelah mengembalikan helm dan mengucapkan terimakasih kepada Dito, Jingga memasuki rumahnya dengan perasaan yang sangat senang. Sejak bertemu kembali dengan Dito, entah mengapa Jingga merasa hatinya menjadi hangat dan tidak sedingin dulu.
Semenjak saat itu, intensitas kedekatan mereka semakin bertambah. Kini setiap hari mereka selalu SMS-an. Kadang juga saling telfon-telfonan. Setiap pagi, Dito selalu menjemput Jingga untuk berangkat bersama ke kampus. Begitu juga sore harinya, Dito selalu mengantar Jingga pulang selepas Jingga membantu bibinya.  Setiap akhir pekan, mereka selalu menyempatkan diri untuk jalan-jalan bersama. Entah nonton ke bioskop bareng, kadang ke toko buku, kadang belajar bersama, atau hanya jalan-jalan di sekitar kompleks perumahan saja saat uang mereka mulai menipis. Jingga merasa nyaman berada di dekat Dito. Ia berharap Dito juga merasa nyaman saat berada di dekatnya.
Sampai suatu hari saat Jingga sedang membantu bibinya, bibinya bertanya kepada Jingga yang Jingga sendiri sebenarnya tidak tahu jawabannya.
“Mbak Jingga sama Mas Dito pacaran ya?” tanya bibinya.
“Hah? Pacaran? Ya enggaklah bi. Kita itu cuma teman dekat saja.”
“Masa sih Mbak? Kok kelihatannya kayak orang pacaran gitu Mbak. Tiap hari Mas Dito selalu setia nunggu Mbak Jingga selesai bantuin bibi gitu. Masa nggak pacaran?”
Jingga terdiam. Ia memikirkan kata-kata bibinya tadi. Iya juga ya? Kak Dito tiap hari selalu nungguin aku buat pulang bareng. Padahal kita kan nggak pacaran. Kok dia mau aja ya? Kira-kira Kak Dito nganggap aku apanya sih? Jingga membatin dalam hati.  
“Mbak Jingga itu Mas Dito udah nyusulin. Kok malah ngelamun?” kata-kata bibinya membuat Jingga tersadar dari lamunannya.
“Eh iya, kalo gitu aku pulang duluan ya bi. Dadah bibi,” pamit Jingga pada bibinya.
Di perjalanan pulang Jingga masih memikirkan kata-kata bibinya. Dito yang melihat Jingga hanya diam saja sedari tadi mencoba mengajak Jingga ngobrol. Tapi Jingga yang mood-nya lagi kurang baik, hanya menanggapi seperlunya saja. Akhirnya Dito memilih ikut diam.
Sesampainya di rumah ...
“Assalamu’alaikum, Bu” ucap Jingga sambil mencium tangan ibunya.
“Wa’alaikumsalam, pulang sama siapa Ga?” ibunya bertanya.
“Biasa sama Kak Dito”  Jingga menjawab sambil melepas sepatunya.
“Dito-nya sekarang mana? Kok gak diajak masuk?”
“Orangnya langsung pulang. Katanya mau ada acara,”
“Oh.. Jingga, kamu udah jadian sama Dito? Kok ibu gak diceritain?” tanya ibunya penasaran.
“Hah? Jadian apanya? Enggak kok. Kita cuma temenan aja,” bantah Jingga.
“Masa sih? Ibu gak percaya tuh. Masa gak pacaran tapi tiap pagi jemput kamu?”
“Beneran bu, aku gak bohong. Kita tuh cuma temenan,”
“Gak usah bohong sama ibu deh, kamu suka kan sama Dito? Kelihatan kok dari mata kamu. Ibu kan juga pernah muda, Jingga. Udah akui saja. Kalo gak diakui malah gak langgeng lo nanti..” Ibu Jingga mencoba menggoda Jingga. 
“Ibu apaan sih?” sambil bangkit dari duduknya dan meninggalkan ibunya.
“Loh? Jingga kok malah pergi?”
Malam harinya, Jingga tidak bisa tidur. Dalam waktu sehari, ada dua orang yang menanyakan status hubungannya dengan Dito. Ia merasa bahagia dengan hidupnya yang sekarang, meskipun status hubungannya gak jelas. Ia ingin menanyakannya kepada Dito, namun ia ragu.
Keesokan harinya, Jingga baru saja mengikuti kelas di ruang kelasnya. Ia sedang mengemasi barang-barangnya dan bersiap untuk pergi ke kantin. Tiba-tiba Fina -teman satu kelas Jingga- memberitahu Jingga bahwa ada yang mencarinya.
“Jingga, kamu dicariin pacar kamu tuh,” ujar Fina.
“Pacar siapa? Aku kan gak punya pacar. Salah orang kali,”
“Salah orang gimana? Jelas-jelas kok dia nyariin kamu. Lagian, dikelas ini ada berapa orang sih yang namanya Jingga? Cuma satu kan? Kamu aja kan? Kalo gak percaya tanya aja sama orangnya.”
Jingga melongokkan kepalanya ke luar jendela. Terlihat Dito sedang duduk di bangku depan kelasnya.
“Oh dia? Bilang dong. Dia bukan pacarku. Kita cuma temenan aja,” jawab Jingga santai.
“Apa kamu bilang? Cuma temen? Mana ada temen yang tiap malam minggu keluar berdua nonton ke bioskop bareng? Gak ada Jingga, please deh.” Kata Fina centil.
“Terserah kamu deh, kamu mau nganggep apa. Aku duluan ya, dadah” ucap Jingga sambil pergi meninggalkan Fina.
Rencananya, hari ini Jingga dan Dito akan pergi ke toko buku bersama. Jingga sedang libur tidak membantu bibinya di kantin. Sepanjang perjalanan ke toko buku, Jingga diam saja. Ia sibuk memikirkan apakah akan menyakan status hubungannya sekarang kepada Dito. Melihat Jingga diam saja, Dito bertanya kepada Jingga.
“Jingga, kok tumben diem. Kenapa? Lagi ada masalah?”
“Gak ada Kak. Emm... Kak boleh tanya sesuatu gak? Tapi Kak Dito jangan tersinggung ya,”
“Mau tanya apa sih? Tanya aja gak apa-apa kok. Gak bakalan tersinggung,”
“Emm... Kak Dito nganggep aku apa sih?” tanya Jingga ragu.
Mendengar pertanyaan Jingga tersebut, kini gantian Dito yang terdiam. Ia sendiri sebenarnya juga bingung dengan status hubungannya dengan Jingga. Ia merasa nyaman berada di dekat Jingga. Namun, apakah setiap kita merasa nyaman berada di dekat seseorang harus kita ungkapkan dengan sebuah status? Kalau tanpa satus sudah membuat kita bahagia, kenapa kita harus meributkan sebuah status? Banyak pula yang sudah ada status jelas tapi hanya digunakan sebatas status tanpa rasa nyaman atau bahagia. Lalu seberapa penting kah status? Dito sibuk berdebat dalam hati. Melihat Dito yang hanya diam saja, Jingga ikut terdiam. Mereka pun sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.(Cepil)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar