Kamis, 30 November 2017

Seorang Gadis yang Jatuh Cinta Kepada Angin



Aku tinggal di sebuah desa yang mulanya amat damai. Orang-orang di desa ini kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani, termasuk orang tuaku. Tetapi, beberapa minggu ini, desa kami turun hujan lebat terus menerus yang menyebabkan para petani gagal panen. Kami pun mulai kehabisan persediaan bahan makanan.
            Lalu, ada seorang warga menyarankan kepada kepala desa agar segera mengambil tindakan. Dan seorang tetanggaku menyarankan untuk meminta bantuan kepada ki Welas, dukun di desa tersebut. Ki Welas menyatakan desa kami memerlukan bantuan angin untuk menyingkirkan awan hujan tersebut. Dan  untuk memanggil angin ke desa kami, ternyata membutuhkan seorang perempuan perawan berambut panjang sebagai persembahan untuk angin tersebut.
            Aku tidak terlalu mempercayai perkataan Ki Welas itu, tetapi banyak orang yang menyetujui rencana itu. Orang-orang mulai memikirkan siapa gadis perawan yang akan menjadi persembahan angin itu. Aku mulai merasa resah, karena satu-satunya gadis perawan di desa ini yang masih mempunyai rambut panjang adalah aku.
            Sejak adanya sebuah salon di desa ini, para perempuan di sini ingin memotong rambut mereka dengan berbagai model. Tetapi tidak dengan ku, rambutku tetap ku biarkan memanjang karena aku sangat menyukai rambut panjangku.
            Orang-orang akhirnya memohon kepada orang tua ku agar mengizinkan aku menjadi persembahan mendatangkan angin untuk desa ini. Orang tua ku pun mengizinkan, dan aku merasa sangat sedih.
            “Anakku, ibu mohon tolonglah desa ini”, ucap ibu dengan lembut kepadaku
            “Tapi bu, aku takut. Memang apa nanti yang akan terjadi padaku?”
            “Kau tidak akan kenapa-kenapa, Ki Welas mengatakan dia hanya memerlukan seorang gadis untuk memanggil angin ke desa ini setelah awan hujan hilang kita akan hidup seperti biasa”
            Aku mengerti, jadi aku akan melakukan ini demi desa tempat tinggalku.
            Keesokan harinya hujan masih turun sangat lebat, pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan segera mempersiapkan diri sebagai persembahan memanggil angin. Ku gunakan kebaya yang telah disiapkan ibu tadi malam dan ku sisir rambut panjangku yang dibiarkan tergerai.
            Ki Welas membawaku ke atas bukit di dekat desa, ia menyuruhku duduk di sebuah batu dan menyanyi untuk memanggil sang angin. Air hujan telah membasahi seluruh tubuhku, aku pun duduk sambil menyanyi lembut di atas batu. Lima belas menit berlalu, dan kurasakan angin lembut menerpa tubuhku. Tidak lama kemudian awan hujan mulai menyingkir, dan matahari mulai nampak merekah.
            Angin telah datang ke desa kami dan mengusir awan hujan dari desa kami. Kurasakan hembusan angin lembut yang selalu menyertaiku. Rasanya damai dan sejuk, membuat rambutku berterbangan.
            Warga desa pun kembali senang karena bisa bekerja seperti dulu lagi. Aku juga merasa senang, setiap hari merasakan kesejukan angin yang seolah selalu menemani dan menyertaiku.
            Suatu malam, aku merasa merindukan kedamaian dan kesejukan angin. Aku pun keluar rumah. Dan sepertinya angin merindukanku juga, saat aku diluar angin menymbutku dengan terpaan yang lumayan besar. Sehingga dapat menerbangkan apapun yang ada di sekitarku, tetapi aku sangat menikmati hembusan angin ini. Begitu damai dan menyejukkan
            Dan kebiasaanku itu akhir-akhir ini membuat para warga jengkel karena banyak jemuran dan genteng atap rumah mereka yang hilang terbawa angin. Mereka mulai menyalahkanku karena mengira akulah yang menyebabkan angin itu terus-terusan mendatangi desa kami dan merusak segalanya.
            Para warga memintaku untuk menghentikan angin agar tidak merusak desa kami. Tetapi aku tidak bisa, angin selalu mendatangiku untuk menghiburku. Akhirnya para warga membawaku ke tengah desa dan mengikatku di sebuat tiang. Mereka akan membakarku.
            Orang tua ku tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya menangis tanpa mencoba mencegah para warga membakarku. Saat kayu bakar telah di letakkan di sekitar tiang, aku hanya bisa pasrah. Sejujurnya aku sangat takut, tapi aku akan lebih taku lagi jika yang selalu menghiburku juga hilang. Ku tutup mataku dan berharap angin bisa menolongku dan pergi membawaku entah kemana.
            Kurasakan panas yang menjulur keseluruh tubuhku, hingga berhembuslah nafas terakhirku.
Api telah melalap semua tubuh gadi itu hingga hangus. Dan saat itu datanglah angin yang sangat dahsyat memadamkan api itu. Seakan sang angin bersedih dan marah melihat gadisnya telah dibakar hidup-hidup oleh orang-orang. Angin menyapu semua yang ada di desa itu menjadi porak-poranda. Semua yang dilakukan angin terlambat, sang gadis telah mati dan hanya tersisa abunya saja.
Abu gadis itu terbang bersama perginya angin. Dan sejak saat itu, desa itu hancur tanpa ada seorangpun yang masih hidup di desa ini.
            Sekarang, aku akan selalu bersamamu, mengikutimu, dan menyertaimu kemanapun kau pergi. Aku sangat bahagia bisa bersamamu selalu dan selamanya. (Putor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar